Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASF

ASF disebut tidak menular ke manusia

Denpasar, IDN Times - African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika sudah mengepung peternakan babi di Indonesia. Bahkan oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatra Utara menyatakan wilayahnya sudah terindikasi ASF dan Hog Cholera di 16 Kabupaten Sumatra Utara. Tercatat lebih dari 30 ribu babi mati di 16 Kabupaten tersebut, dengan daerah wabah dan kematian babi tertinggi di Karo dan Deli Serdang pada bulan Desember 2019 lalu. Selain itu, babi-babi di Pulau Bali juga banyak ditemukan mati.

Lalu bagaimana nasib Bali? Berikut penjelasan Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar, I Putu Terunanegara:

1. Bali sendiri diketahui tidak pernah memasukkan babi dari luar wilayah provinsi. Sehingga risiko penularan ini bisa dicegah

Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASFunsplash.com/Forest Simon

Mewabahnya ASF di Sumatra Utara, diakui Terunanegara, justru menyulitkan pengawasan yang dilakukan oleh Provinsi bali. Karena transportasi domestik bisa diakses melalui Pelabuhan Gilimanuk dan Bandara I Gusti Ngurah Rai.

“Sedikit menyulitkan pengawasan. Kalau di Internasional Bea Cukai masih bisa melakukan x-ray dan lainnya. Ya mudah-mudahanlah kami berharap tidak ada penularan,” terangnya kepada IDN Times, tanggal 27 Desember 2019 lalu.

Kekhawatiran terkait potensi mewabahnya ASF ini cukup menyulitkan pihak karantina daripada transportasi babi. Di mana Bali sendiri diketahui tidak pernah memasukkan babi dari luar wilayah provinsi. Sehingga risiko penularan ini bisa dicegah.

2. Wabah ASF disebut belum ada di Bali

Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASFIDN Times/Ayu Afria

Sebagai otoritas yang menjaga pintu masuk wilayah Bali, Terunanegara mengaku ASF belum menjangkit peternakan babi di Bali. Sesuai dengan peran dan tugas karantina, pihaknya berharap tidak akan pernah terjadi kasus ASF di Bali.

Tercatat, ASF terakhir masuk ke Timor Leste pada September 2019 lalu. Sehingga upaya pencegahan terhadap ASF ini, di antaranya melakukan pengawasan terhadap wisatawan yang berasal dari negara tersebut di wilayah bandara. Hal ini juga berlaku kepada wisatawan asal Tiongkok, Vietnam, Filipina dan negara-negara Eropa yang mayoritas mengonsumsi daging babi.

3. Sampah bawaan turis dari kapal pesiar hingga pesawat akan diawasi

Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASFPixabay.com/Susann Mielke

“Termasuk di pelabuhan ya, yang secara rutin masuk cruise, ya kapal pesiar dari beberapa negara. Ini berisiko karena mereka membawa sampah dari kapal. Tahap awal kami melakukan sosialisasi.”

Terunanegara menambahkan, pihaknya secara rutin akan melakukan pengambilan sampel sampah pesawat dari daerah tertular, untuk kemudian diuji laboratorium. Termasuk pengawasan pembuangan sampah dari kapal pesiar yang bersandar di Bali. Sehingga sampah ini dipastikan tidak merembes ke peternak babi.

“Kenapa ini kami lakukan, karena Bali merupakan salah satu provinsi yang high risk. Jadi risikonya sangat tinggi mengingat transportasi wisatawan dari negara-negara tertular khususnya Tiongkok,” ungkap Terunanegara.

Pihak Karantina langsung berkoordinasi dengan Bea Cukai untuk mengawasi barang bawaan penumpang seperti sosis, burger dan barang lain yang berbahan daging babi.

“Memang tidak menutup kemungkinan kalau ada satu dua yang lolos ini kami wapadai. Sehingga mereka lolos ke vila, hotel. Kemudian mereka buang ke tempat sampah, sisa makanannya dibawa ke peternakan babi. Nah ini yang berisiko,” katanya.

4. ASF bisa dimatikan dengan cara merebus dalam air mendidih

Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASFvideoblocks.com

Terunanegara menjelaskan, ASF ini tidak bersifat zoonosis (Menular ke manusia). Hanya saja ketika ASF sudah menyerang peternakan babi, angka kematian ternak mencapai 100 persen. Jika sudah menyerang akan sulit diatasi, meski dari penilaiannya, sangat mudah untuk dimatikan dengan cara merebus dalam air mendidih. Mengingat ASF juga tidak memiliki hewan perantara.

“Satu kali penyakit ini menyebar ke daerah lain itu akan terus menghabiskan populasi babi. Bali masih aman sampai sekarang,” tegasnya.

Pihaknya justru mengkhawatirkan ternak babi yang mati dengan ASF, tetap diproduksi menjadi produk seperti sosis dan lainnya.

“Itu yang kami khawatirkan. Kalau tidak dimasak dengan baik,” jelasnya lagi.

5. Ada 25 titik peternakan babi di Bali yang berisiko tinggi tertular ASF, karena pakan yang dipakai

Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASFIDN Times/Ayu Afria

Sementara itu Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, I Wayan Mardiana, menjelaskan pihaknya memetakan 25 titik peternakan babi di wilayah Bali yang berisiko tinggi tertular virus ASF. Sebab peternak babi di 25 titik tersebut masih memanfaatkan sisa-sisa makanan dari hotel, restoran maupun cathering (Horeka) sebagai pakannya. Jika 25 titik itu ditotal, maka ada sekitar 10.002 ekor babi yang berisiko tertular ASF.

Dua puluh lima titik itu tersebar di 306 peternak babi seluruh Provinsi Bali. Masing-masing berada:

  • Kabupaten Badung: 44 peternak
  • Kota Denpasar: 140 peternak
  • Kabupaten Gianyar: 8 peternak
  • Kabupaten Klungkung: 28 peternak
  • Kabupaten Bangli: 9 peternak
  • Kabupaten Buleleng: 4 peternak
  • Kabupaten Karangasem: 12 peternak
  • Kabupaten Tabanan: 1 peternak
  • Kabupaten Jembrana: 60 peternak

Para peternak babi di Kota Denpasar sendiri paling banyak berada di daerah Suwung dan Sidakarya. Mereka memanfaatkan sisa-sisa TPA (Tempat Pembuangan Akhir) untuk ternak babi. Karena itu pihaknya menugaskan petugas peternakan kabupaten/kota di Provinsi Bali, untuk melakukan pengawasan dan pemantauan di 25 titik risiko tinggi terhadap penularan ASF.

Berikut ini estimasi jumlah ternak babi di wilayah Provinsi Bali tahun 2019 yang jumlah totalnya mencapai 762.409 ekor:

  • Badung: 70.356 ekor
  • Denpasar: 14.374 ekor
  • Gianyar: 138.764 ekor
  • Klungkung: 23.309 ekor
  • Bangli: 59.747 ekor
  • Buleleng: 195.927 ekor
  • Karangasem: 142.758 ekor
  • Tabanan 94.348 ekor
  • Jembrana 22.826 ekor.

6. Bali tidak pernah mengimpor daging maupun produk olahan babi dari luar wilayah

Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASFIlustrasi olahan daging babi. (IDN Times/Ayu Afria)

Mardiana mengungkapkan, Bali sudah mandiri memenuhi kebutuhan daging babi sejak puluhan tahun yang lalu. Bali tidak pernah mengimpor daging maupun produk olahan babi dari luar wilayah. Begitu pula untuk urusan lalulintas ternak babi di wilayah Bali. Justru yang ada malah daging, olahan, hingga ternak babi dari Bali diekspor ke luar wilayah.

Angka ekspor Bali tersebut semakin meningkat tatkala ada serangan ASF di Sumatra Utara. Meski belum diketahui pasti angkanya, namun daging dan produk olahan babi dari Bali kini menjadi rujukan beberapa wilayah Indonesia, yang membutuhkan produk ini untuk konsumsi.

Bali sendiri masuk dalam daftar empat wilayah terbesar di Indonesia dengan populasi babi tertinggi. Yaitu Sumatara Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara.

Lumpuhnya peternakan babi di Sumatra Utara akibat ASF dan Hog Cholera, kini memposisikan Bali sebagai rujukan untuk produk daging babi skala nasional. Apalagi ada nilai surplus daging babi hingga 400 ton.

“Sudah swadaya. Artinya surplus 400 ton itu, pengolahan sudah, konsumsi masyarakat lokal sudah, kebutuhan upacara sudah. Nah itu. Ini target kami yang penting bagaimana ke depan para pengusaha kita mengisi kekosongan di DKI (Daerah Khusus Ibu Kota)," ungkapnya.

Aliran surplus daging babi dari Bali juga dikirim ke Solo, Freeport dan Singapura. Baik berupa babi hidup, daging, olahan sosis, daging asap, dendeng maupun lainnya.

7. Ada tiga jenis penyakit yang menjangkiti ternak babi mati di Bali

Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASFlenews.ch

Menurut Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar, I Wayan Masa Tenaya, ada tiga jenis penyakit yang menjangkiti ternak babi mati di Bali.

“Memang di Bali ini sudah ada penyakit dari dulu, penyakit SE alias Ngorok (septicemia epizootica), hog cholera, dan streptococcus. Adapun penyakit-penyakit yang belum ada, seandainya ada di Bali ini, kami akan kirim sampelnya itu ke laboratorium rujukan nasional. Dalam hal ini tentang penyakit babi ini (Dugaan babi mati karena ASF) itu kami kirim ke Medan,” terang Tenaya saat ditemui di kantornya, Rabu (22/1/2020).

Munculnya tiga penyakit tersebut diakui karena memang belum optimalnya vaksinasi yang dilakukan oleh peternakan masyarakat.

“Apapun itu penyakitnya harus tetap dilakukan biosecurity dan biosafety. Jadi sudah saya arahkan demikian. Bahwasanya ke depan beternak babi itu harus menuju ke yang lebih baik, lebih sehat dengan tidak menggunakan pakan swill feeding itu,” kata Tenaya.

Sekadar diketahui, tidak semua penyakit pada hewan memiliki vaksinnya. Namun untuk ternak babi sendiri sudah ada vaksinnya. Yaitu hog cholera dan SE. Sedangkan untuk streptococcus memang belum ada vaksinnya.

“Untuk SE dan hog cholera vaksinnya sudah swadaya masyarakat,” tegasnya.

8. Gejala dan pencegahan yang harus dilakukan para peternak jika menemukan ternaknya sakit

Bukan Zoonosis, 8 Fakta Babi di Bali di Tengah Wabah Virus ASFIDN Times/Ayu Afria

Babi yang terjangkit virus memiliki gejala klinis sama seperti terkena penyakit pada umumnya. Mulai dari tidak mau makan, letih, lemah, lesu hingga demam yang tidak bisa dibedakan.

Tenaya mengungkapkan pentingnya early information (Informasi awal) dari pihak pemerintah, yang sangat mendukung penerapan kesehatan ternak, khususnya babi di Bali. Misalnya dengan memberikan warning terhadap waspada penyakit ini dan lainnya.

Selain itu, pihaknya meminta agar peternak yang menemukan ternaknya sakit, khususnya babi, agar melaporkan penyakit tersebut ke dinas masing-masing. Nanti dinas tersebutlah yang turun melakukan verifikasi dan validasi kondisi ternak mati di lapangan.

Baca Juga: Peternak di Klungkung Menduga Isu ASF Untuk Anjlokkan Harga Babi

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya