Bagaimana Seharusnya Keluarga di Bali Merawat ODGJ? Jangan Menambah Trauma

Dukungan keluarga sangatlah penting

Denpasar, IDN Times – Bali yang dikenal dengan Pulau Surga ternyata memendam sisi lain, yakni para Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) masih ada yang dipasung. Kondisi tersebut diungkap oleh Suryani Institute for Mental Health (SIMH). ODGJ yang dipasung perlu mendapatkan bantuan dan penanganan yang layak sebagaimana manusia biasanya.

Bantuan yang diberikan terutama oleh keluarga ODGJ. Diharapkan keluarga bisa membantu mereka bebas dari penderitaan yang dialami dan bahwa gangguan jiwa ini bisa disembuhkan dengan metode yang tepat dan dilakukan oleh ahlinya.

SIMH menilai memperlakukan ODGJ dengan cara memasung, merantai, dan mengunci mereka di dalam ruangan atau dengan cara-cara tidak manusiawi lainnya, bukanlah tindakan yang tepat. Lalu bagaimana seharusnya keluarga memperlakukan dan merawat ODGJ?

Baca Juga: Buku Hope and Freedom, Potret Pemasungan ODGJ di Bali

1. Diperkirakan 9.000 orang di Bali mengalami gangguan jiwa berat

Bagaimana Seharusnya Keluarga di Bali Merawat ODGJ? Jangan Menambah TraumaHope and Freedom, buku yang mengulas tentang ODGJ di Bali. (IDN Times/Ayu Afria)

Founder Suryani Institute for Mental Health (SIMH), Prof Luh Ketut Suryani, dalam peluncuran buku Hope and Freedom yang bercerita tentang 18 ODGJ di Bali, pada Sabtu (1/10/2022) lalu, mengungkapkan bahwa pihaknya mendukung penuh program Bali Bebas Pasung yang ia canangkan pada tahun 2010, termasuk menggugah perhatian masyarakat kepada masalah gangguan jiwa.

SIMH memperkirakan sebanyak 9.000 orang di Bali mengalami gangguan jiwa berat, yakni gangguan skizofrenia, gila (buduh). Tercatat ada 350 orang berada dalam kondisi terpasung.

“Alasannya adalah terlalu menganggu, orangtua tidak punya uang, tidak ada yang peduli. Malahan ada yang mengatakan sudah saya bawa ke dokter ke mana-mana ndak berhasil. Saya kan perlu hidup,” ungkapnya.

Sementara itu, ditambahkan oleh dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana bahwa angka terakhir Indonesia mencatat sebanyak 44.000 orang yang terpasung. Sementara itu di Bali diproyeksikan sekitar 300 orang masih terpasung. Program Bali Bebas Pasung ia ungkapkan masih menjadi perjalanan yang panjang.

“Dari SIMH baru bisa menemukan 91 orang yang terpasung. Sementara di RSJ mengklaim sudah sekitar 200 orang mereka rawat di RSJ. Tetapi apakah setelah dirawat di RSJ itu tidak dipasung kembali?" ungkapnya.

2. Pentingnya melahirkan anak-anak yang berkualitas

Bagaimana Seharusnya Keluarga di Bali Merawat ODGJ? Jangan Menambah TraumaIlustrasi hamil (IDN Times/Mardya Shakti)

Prof Luh Ketut Suryani mengungkapkan tentu tidak mungkin jika SIMH yang harus menangani orang dengan gangguan jiwa berat. Lalu bagaimana dengan pemerintah? Sejauh ia melihat bahwa pemerintah tidak memperhatikan hal ini, apalagi ke lapangan. Sebagian besar memilih menunggu pasien yang akan datang.

“Kalau kami mau menanganinya, tentu tidak mungkin, karena kami pun juga harus hidup,” jelasnya.

Oleh karenanya, ia menekankan pentingnya melahirkan anak-anak yang berkualitas. Tujuan ini harus diprogramkan sejak dini.

Ia katakan bahkan anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mengalami kekerasan seksual seperti pemerkosaan dan lain sebagainya. Kasus penguguran kandungan yang banyak terjadi, ia nilai memicu adanya gangguan niskala terhadap keluarga tersebut.

“Sekarang tinggal pemerintah mau turun ke bawah atau menunggu? Sekarang kan konsep pemerintah menunggu di rumah sakit, menunggu di puskesmas. Kemudian memberikan obat tanpa menanyakan apa sebenarnya yang terjadi dan sebagainya,” jelasnya.

3. Perlu memperbaiki trauma pada ODGJ agar kembali sembuh

Bagaimana Seharusnya Keluarga di Bali Merawat ODGJ? Jangan Menambah TraumaSalah satu tulisan ODGJ dalam buku Hope and Freedom. (IDN Times/Ayu Afria)

Dengan sistem penanganan ODGJ seperti saat ini, Luh Suryani mengatakan tidak akan mungkin mencegah atau mengurangi jumlah ODGJ yang terpasung. Pihak keluarga juga tidak memahami keadaan tersebut, dengan berbagai alasan, mulai rasa takut, gawat, dan lain sebagainya. Sehingga demi keselamatan, ODGJ kemudian diikat atau dipasung.

Sementara itu, dari dunia kedokteran hanya fokus memberikan obat, tidak ada yang memberikan pendidikan kepada keluarga dengan mengajarkan bagaimana keluarga untuk merawat dan sebagainya.

Oleh karena itu, ia berkeinginan masyarakat Bali juga bisa bangkit dari kondisi ini. Maka sangat dibutuhkan pula peran relawan.

“Semampu kami untuk bisa membantu. Kami sudah mendapatkan cara yang terbaik yang pernah kami lakukan. Adalah dekati mereka, ajak mereka, dan kalau mereka sudah membaik terapi mereka. Karena menurut teori saya gangguan jiwa bukan karena faktor keturunan. Gangguan jiwa karena trauma di dalam kandungan, waktu dibesarkan dan waktu-waktu dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya.

Adanya trauma yang menyebabkan gangguan jiwa tersebut, maka menurutnya trauma inilah yang memang harus diperbaiki. Hingga akhirnya para ODGJ ini bisa kembali hidup normal seperti manusia lainnya.

4. Perlu mendidik orang Bali untuk menjaga kebersihan

Bagaimana Seharusnya Keluarga di Bali Merawat ODGJ? Jangan Menambah Trauma(IDN Times/Diantari Putri)

Program Bali Bebas Pasung ini diakui juga mengalami hambatan. Di antaranya adanya aturan dari pemerintah yang sebenarnya tidak memperbolehkan tenaga medis datang ke rumah, mengunjungi, dan mengobati ODGJ.

“Kalau itu dikenakan, kami bisa dihukum. Bisakah kami yang bergerak begini mendapatkan jaminan dari pemerintah? Kami boleh. Atau dari pemerintah sendiri yang punya staf, begitu banyak di rumah sakit, di puskesmas, dan sebagainya. Minta mereka turun ke bawah untuk mengunjungi,” jelasnya.

Lalu bagaimana upaya yang bisa dilakukan dari keluarga ODGJ tersebut? Suryani mengungkapkan bahwa salah satu upaya menghindari gangguan jiwa dalam suatu keluarga adalah menjaga kebersihan rumah. Ia menyebutkan bahwa banyak masyarakat Bali tidak menjaga kebersihan rumah mereka. Hanya dari luarnya rumah terlihat berukir, namun di dalamnya sangat kotor.

“Kalau kami lihat situasi di Bali, rumah orang Bali betul kotor sekali. Ya, tertutup semuanya, sprei tidak pernah diganti. Punya kasur tidak pernah dikeluarkan. Nah inilah sebenarnya tugas dari public health. Adakah public health itu memberikan penerangan. Mendidik orang Bali menjadi bersih.

Kalau sudah siapapun, orang normal pun diberikan rumah seperti itu pasti akan sesak, ndak enak, dan kemudian mulai bingung dan sebagainya,” jelasnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya