Mengapa Pandemik COVID-19 Berlanjut? Ini Penjelasan Ahli di Bali  

Jangan sampai muncul anggapan vaksinasi hanya syarat event

Denpasar, IDN Times – Pandemik COVID-19 sudah berlangsung dua tahun lamanya. Namun hingga kini belum juga menunjukkan titik terang, justru malah muncul varian yang lain. Sementara masyarakat sudah sangat berharap perekonomian akan segera pulih. Terutama Bali yang sangat bertumpu pada pariwisata. 

Penggunaan masker dan vaksinasi disebut menjadi solusi untuk mencegah penularan COVID-19. Dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof Dr Pande Putu Januraga S Ked MKes Dr PH (FK), menekankan pemakaian masker sangat efektif untuk mencegah infeksi. Vaksin juga dinilai terbukti melindungi seseorang dari kematian akibat infeksi COVID-19.

Lalu mengapa sampai saat ini pandemik COVID-19 masih juga berlanjut? Dalam acara Indonesian Congress Symposium on Combating COVID-19 Pandemic without Boundaries yang diselenggarakan secara daring pada Minggu (16/1/2022), Pande memaparkan beberapa faktor yang bisa menjadi penyebabnya. 

Baca Juga: Virolog Unud Ungkap Dugaan Omicron Sudah Menyebar di Bali

1. Keraguan terhadap vaksin menjadi ancaman keberhasilan penanggulangan COVID-19

Mengapa Pandemik COVID-19 Berlanjut? Ini Penjelasan Ahli di Bali  Vaksinasi massal di Provinsi Bali yang dilakukan oleh BIN Daerah Bali bekerja sama dengan pihak terkait lainnya. (IDN Times / Ayu Afria)

Permasalahan pandemik COVID-19 sangat terkait dengan vaksin. Apakah Indonesia saat ini memiliki vaksin yang cukup efektif? Lalu bagaimana dengan cakupan atau distribusinya? Efektivitas vaksin dan distribusinya, menjadi permasalahan yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini.

Disusul kemudian adanya faktor penolakan dan keraguan terhadap vaksin (vaccine hesitancy) dari masyarakat Indonesia saat ini. Keraguan itu menjadi ancaman keberhasilan penanggulangan COVID-19.

“Kalau kita lihat laporan WHO, ini dikeluarkan tahun 2019. Vaccine hesitancy itu sebenarnya sudah dibicarakan. Bahkan di list sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan global gitu,” ungkapnya.

2. Vaccine hesitancy harus diperhatikan dengan serius apabila ingin terdistribusi dengan baik

Mengapa Pandemik COVID-19 Berlanjut? Ini Penjelasan Ahli di Bali  Vaksinasi anak-anak di Karangasem. (Dok. IDN Times/BINDA Bali)

Pande menjelaskan secara konsep vaccine hesitancy merujuk pada keterlambatan untuk menerima atau kemudian penolakan terhadap vaksin. Penolakan dilakukan meskipun sebenarnya layanan terhadap vaksin tersedia secara luas.

Vaccine hesitancy ini merupakan konsep yang terjadi secara kontinu. Penundaan penerimaan vaksin di kalangan masyarakat ini terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi. Pande menyampaikan berdasarkan konsep yang disampaikan oleh MacDonald, The SAGE pada tahun 2015, vaccine hesitancy bersifat swing, bisa ke kanan dan ke kiri, bisa mencapai penerimaan dan penolakan terhadap vaksin.

“Bahkan ada porsi kecil yang menerima vaksin sekalipun bisa saja menjadi ragu-ragu ya. Menjadi tidak pasti terhadap manfaat dari vaksin. Kemudian ketika pemerintah memiliki kebijakan untuk melakukan booster seperti yang kita punya sekarang, mereka yang sebenarnya sudah menerima vaksin pertama dan vaksin kedua mungkin saja menjadi ragu akan vaksin ketiga,” jelasnya.

Pande menegaskan vaccine hesitancy harus diperhatikan dengan serius apabila ingin supplay vaksin cukup dan terdistribusi dengan baik, serta segera diterima oleh masyarakat Indonesia.

Mengapa Pandemik COVID-19 Berlanjut? Ini Penjelasan Ahli di Bali  IDN Times/Ayu Afria

Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi vaccine hesitancy:

  • Confidence (keyakinan/kepercayaan) mencakup keyakinan efektivitas vaksin, keamanan vaksin, keyakinan terhadap sistem pemberi pelayanan kesehatan, serta keyakinan terhadap pemerintah selaku pembuat kebijakan
  • Complacency terkait dengan bagaimana individu memahami atau memiliki persepsi terhadap risiko COVID-19 dan manfaat menerima vaksin
  • Convenience berkaitan dengan ketersediaan vaksin COVID-19, ketersediannya di berbagai kondisi geografis yang berbeda hingga kenyamanan sistem pemberian layanan itu sendiri

3. Hanya 50 sampai 60 persen masyarakat di dunia yang mau menerima vaksin COVID-19

Mengapa Pandemik COVID-19 Berlanjut? Ini Penjelasan Ahli di Bali  IDN Times/Ayu Afria

Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 2021, dari seluruh responden yang ada di dunia, hanya 50 sampai 60 persen yang memang mau menerima vaksin COVID-19. Pande mengatakan, di beberapa negara maju, cakupan vaksinasi lengkap (dianggap 2 kali vaksinasi) tidaklah ideal. 

“Amerika sendiri saat ini masih di bawah 70 persen vaksinasi lengkap dua kalinya. Padahal mereka sudah memulai booster sejak Delta. Sejak beberapa bulan yang lalu. Negara-negara kaya yang berlimpah vaksinnya ini kemudian tidak dapat menghabiskan stok vaksinnya dan baru kemudian terdistribusi ke negara-negara yang lebih miskin atau kurang maju," tegasnya. 

"Problemnya kemudian ketika mereka menerima vaksin yang anggaplah hampir expired, masa waktunya sudah kadaluarsa, health system-nya kemudian tidak mampu mendistribusikan. Akibatnya banyak vaksin yang terbuang,” imbuh Pande. 

Kondisi inilah yang membuat virus COVID-19 lebih lama dan bermutasi seperti saat ini. Kegagalan dalam mendistribusikan vaksin dapat memperpanjang pandemik COVID-19. Begitu pula dengan amburadulnya cakupan vaksinasi di Indonesia.

4. Kampanye vaksin harus ditekankan pada kata proteksi dan manfaat vaksinasi COVID-19

Mengapa Pandemik COVID-19 Berlanjut? Ini Penjelasan Ahli di Bali  Gubernur Bali, I Wayan Koster, ketika menerima vaksinasi COVID-19. (Dok.IDN Times/ Screenshot YouTube Pemerintah Provinsi Bali)

Dalam menghadapi persoalan vaccine hesitancy ini, menurut Pande ada beberapa upaya yang bisa dilakukan, di antaranya: 

  • Menyusun strategi komunikasi yang tepat dari sumber yang bisa dipercaya oleh masyarakat
  • Meningkatkan model pemberian vaksin yang berbeda
  • Melibatkan komunitas tidak hanya sebagai penerima, tetapi juga sebagai yang mengampanyekan vaksin
  • Pelatihan dan pendidikan berkelanjutan kepada mereka yang terlibat di tingkat lokal dalam hal penanggulangan COVID-19 dan pemberian vaksin di masyarakat.

“Yang paling penting menurut saya adalah bagaimana mengembangkan pesan-pesan kesehatan masyarakat yang bisa dipercaya. Karena di tengah kemajuan teknologi dan informasi sekarang, masyarakat bisa menerima informasi dari mana saja. Ini membingungkan dan memunculkan keraguan terhadap efektivitas vaksin dan ini bisa memicu penundaan terhadap penerimaan,” jelasnya.

Dalam kampanye vaksin ini, menurutnya harus ditekankan pada kata proteksi dan manfaat vaksinasi COVID-19. Makna proteksi inilah yang menurutnya kurang kuat digaungkan ke masyarakat.

Selain itu, pemilihan figur untuk kampanye vaksin juga menurutnya kurang tepat, misalnya pemilihan artis atau politikus. Hal itu tentu sangat memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap vaksin itu sendiri.

Ia mencontohkan, statement Gubernur Bali, I Wayan Koster yang pada awalnya mengajak masyarakat menyukseskan booster demi G20. Statement yang ke luar tersebut kemudian dijadikan lelucon oleh banyak pengguna sosial media karena berbagai alasan. Termasuk apakah vaksin hanya untuk syarat event saja?

“Booster itu penting. Tetapi pesan seperti ini (statement Gubernur Bali) membuat bias manfaat vaksinasi itu sendiri dan menimbulkan keraguan yang lebih besar terhadap efektivitas vaksin dalam melindungi kita masuk rumah sakit dan kematian,” ucapnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya