Legenda Men Brayut di Bali, Perempuan yang Berhasil Mendidik 18 Anak

Men Brayut sebagai simbol kesuburan dan penyayang di Bali

Tanggal 22 Desember menjadi momen untuk memeringati Hari Ibu. Peringatan ini sebagai wujud penghargaan kita kepada seorang ibu, yang memiliki peran mulia dalam kehidupan keluarga. Maka tak salah jika ada pernyataan bahwa "Surga berada di telapak kaki ibu."

Berkaitan dengan itu, ada cerita legenda di Bali tentang perempuan yang layak dijadikan sebagai kisah inspirasi. Yaitu keluarga Brayut. Mereka, Pan Brayut (Suami) dan Men Brayut (Istri), adalah petani yang memiliki 18 anak. Kisah mereka diceritakan dalam masa yang sama seperti orang tua zaman dulu: banyak anak, banyak rejeki.

Namun di zaman sekarang yang berkutat pada program Keluarga Berencana (KB) dua anak cukup, Men Brayut selalu dikonotasikan sebagai tokoh yang tak patut ditiru. Brayut telah menjadi simbol keluarga kumuh yang memiliki banyak anak, tidak bisa mengurus diri dan keluarganya.

Sejatinya, ada hal-hal positif yang bisa dipetik dari kisah keluarga Brayut. Berikut ini kisah Men Brayut, yang dikutip dari berbagai sumber:

1. Munculnya Kongres Perempuan Indonesia sebagai tonggak pelopor tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu

Legenda Men Brayut di Bali, Perempuan yang Berhasil Mendidik 18 Anakinsideindonesia.org

Sebelum membahas tentang kisah Brayut, alangkah baiknya kita melihat sejarah penetapan tanggal 22 Desember sebagai peringatan Hari Ibu di Indonesia. Hari Ibu ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959, yang menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu. Kenapa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu?

Sebab pada tanggal tersebut pertama kalinya diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia, yang berlangsung di Yogyakarta tahun 1928. Peristiwa ini dikenang sebagai awal mula perjuangan kaum perempuan di Indonesia.

Pada tanggal tersebut berbagai pemimpin dari organisasi perempuan di seluruh Indonesia berkumpul, bersatu dan berjuang untuk kemerdekaan, serta perbaikan nasib kaum perempuan.

Hampir seluruh agenda dalam kongres ini membicarakan hak-hak perempuan. Hal itu bisa dilihat dari pertemuan hari kedua kongres, di mana Moega Roemah membahas soal perkawinan anak. Pada zaman sebelum kemerdekaan, perempuan acap kali dikawinkan walau masih belia.

Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya juga menyampaikan tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Kemudian disusul Siti Moendji'ah dengan “Derajat Perempuan” dan Nyi Hajar Dewantara—istri dari Ki Hadjar Dewantara— yang membicarakan soal adab perempuan.

2. Cerita singkat tentang keluarga Brayut:

Legenda Men Brayut di Bali, Perempuan yang Berhasil Mendidik 18 Anaknowbali.co.id/Namhar Hernanto

Keluarga Brayut merupakan cerita rakyat Bali yang tertulis dalam gaguritan dengan pupuh Tikus Kapating (Sinom) koleksi Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali Nomor IVd 1399/14. Tulisan ini dikutip dari Jurnal Kajian Bali Volume 07, Nomor 01 bulan April 2017 berjudul "Pemaknaan cerita rakyat Brayut: Dari ideologi agraris hingga kapitalis". Jurnal tersebut ditulis oleh I Wayan Budi Utama, dari Universitas Hindu Indonesia Denpasar.

Tulisan itu menceritakan tentang Brayut, yang merupakan keluarga petani penganut Buddha, yang merayakan Hari Raya Galungan. Ketika perayaan Galungan tiba, Pan Brayut membuat berbagai macam makanan olahan daging babi sebagai sebagai sesaji (Persembahan).

Namun istrinya, Men Brayut, masih tertidur lelap karena kelelahan mengurus 18 anaknya, di mana satu anak masih dalam kandungan. Tingkah laku anak-anaknya membuat tenaga sang ibu menjadi terkuras dan tidak terurus. Termasuk tidak sempat membantu suaminya untuk menyiapkan upacara.

Ketika bangun tidur, Men Brayut langsung menuju ke dapur untuk menyantap berbagai makanan, yang tadinya sudah dipersiapkan dan dipersembahkan sang suami sebagai sesaji. Ia menyantap makanan tersebut dengan lahap tanpa mempedulikan anak-anaknya yang menangis. Tiba-tiba suaminya datang dan memarahi sang istri yang lahap menyantap makanan.

Di sanalah mereka berdebat terkait banyaknya anak-anak yang lahir. Sang suami menyalahkan istri. Sedangkan istrinya membela diri, dengan menyatakan bahwa anak-anak lahir karena sang suami tidak mampu mengendalikan nafsu birahinya.

Pan Brayut lalu belajar ilmu ketuhanan pada seorang Guru bijak bernama Pangeran Jembong, yang menguasai ajaran agama Buddha. Setelah mendapatkan banyak pelajaran, Pan Brayut mersemdi di pohon kepuh besar yang bagian bawahnya berlubang, di sebuah kuburan angker. Atas karunia Tuhan, ilmu Pan Brayut akhirnya disempurnakan. 

Singkat cerita, Pan Brayut dan Men Brayut memutuskan meninggalkan anak-anaknya yang sudah besar serta menikah. Brayut meninggalkan keluarganya (Masa Grehasta) untuk menjadi Bhiksuka dan Wanaprasta, dengan mendirikan pasraman di arah timur rumah keluarganya.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Parmiti, Guru ABK yang Pernah Dikencingi Muridnya

3. Nilai positif yang bisa diambil: Brayut disimbolkan sebagai Dewi penyayang anak-anak dan kesuburan

Legenda Men Brayut di Bali, Perempuan yang Berhasil Mendidik 18 Anakpatembayancitralekha.com

Keluarga Brayut tersebut kini melegenda. Bahkan ada tempat pemujaan Brayut di Desa Samuan, Candi Dasa, Kabupaten Karangasem. Yaitu berupa arca seorang perempuan yang sedang dikerubuti oleh anak-anak.

Dalam jurnal Wayan Budi Utama menafsirkan, Brayut sebagai gambaran tentang struktur tindakan sosial dan kebudayaan masyarakat Bali pada zamannya. Keberagamaan masyarakat lokal pada waktu itu sudah tinggi sehingga mampu melakukan lokalisasi ajaran-ajaran Hindu dan Buddha sesuai dengan lokal jenius yang dimiliki masyarakat.

Dari hasil penelitian Wayan Budi Utama di lapangan, menunjukkan tokoh Brayut menjadi simbol baik bagi penganut paham Buddhis, penganut Siwais, dan sistem kepercayaan lokal. Indikasi ini terlihat ketika Wayan Budi Utama mewawancarai tokoh di Desa Samuan, Candi Dasa, Karangasem, I Ketut Sumbu kala itu. Di mana banyak yang menyebut tokoh ini sebagai Dewi Hariti, Dewi Sri, dan Men Brayut.

Dewi Hariti disebut sebagai tokoh perempuan yang memiliki banyak anak dalam mitologi Buddha. Awalnya ia adalah seorang yaksa yang suka makan daging manusia. Namun setelah mendapatkan pencerahan dari ajaran Buddha, Dewi Hariti berubah menjadi Dewi yang sangat sayang kepada anak-anaknya.

Sedangkan Dewi Sri adalah tokoh pemberi kemakmuran bagi masyarakat Hindu di wilayah tersebut. Dewi Sri juga diyakini dapat menghilangkan segala mala atau kekotoran dalam diri manusia.

Karena kisah tersebut, masyarakat sering memohon tirta panglukatan di Pura Candi Dasa, dengan cara membersihkan diri di Yeh Mapalu. Yaitu pertemuan antara air tawar dengan air laut yang letaknya di depan Pura.

Masyarakat setempat juga menyebut arca di Pura tersebut sebagai Men Brayut, yang diyakini sebagai Dewi penyayang anak-anak. Sehingga banyak pasangan yang belum mendapatkan keturunan memohon anak di sini.

4. Meski banyak anak dan karakternya berbeda-beda, namun keluarga Brayut berhasil membesarkan mereka

Legenda Men Brayut di Bali, Perempuan yang Berhasil Mendidik 18 Anakswabhava.wordpress.com via Facebook.com/SejarahBali

Dari hasil penelitian Wayan Budi Utama berlandaskan pada lontar Gaguritan Brayut, mereka adalah keluarga yang berhasil mendidik 18 anaknya. Bila dikaitkan dengan sistem religi masyarakat Hindu di Bali, 18 merupakan angka istimewa karena merupakan kelipatan angka sembilan. Angka sembilan dipandang sebagai angka tertinggi, yang diyakini memiliki nilai religiomagis dalam sistem keyakinan masyarakat Hindu di Bali.

Anak-anak Brayut yang berjumlah 18 memiliki karakter berbeda-beda. Meski berbeda-beda, namun keluarga Brayut mampu membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Hingga 18 anak tersebut tumbuh dewasa dan menikah, suami istri memutuskan untuk menekuni spiritual dengan berguru pada Jembong.

5. Keluarga Brayut hidup dalam kesederhanaannya sebagai petani. Tapi mereka gigih membesarkan 18 anaknya

Legenda Men Brayut di Bali, Perempuan yang Berhasil Mendidik 18 AnakFoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Wayan Antara)

I Wayan Mudra, PS Kriya Seni FSRD ISI Denpasar, juga membuat ulasan menarik tentang kisah keluarga Brayut ini. Menurut Wayan Mudra yang dikutip dari isi-dps.ac.id, tokoh Men Brayut pada kondisi zaman sekarang, dipakai sebagai contoh ibu yang tidak patut ditiru karena memiliki banyak anak. Maka program pemerintah tentang KB dua anak cukup, membuat tokoh Men Brayut semakin dijauhkan dari peradaban zaman sekarang.

Padahal, kata Wayan Mudra, ada sisi positif yang perlu diteladani dari kisah Men Brayut. Yaitu kegigihannya dalam membesarkan 18 anak hingga berhasil sampai menikah. sementara di kehidupan nyata, pasangan suami istri (Pasutri) yang memiliki dua anak tidak gigih untuk memperjuangkan keberlangsungan pendidikannya, karena alasan tidak ada biaya.

"Mereka menyerah pada kondisi dan situasi lingkungannya. Akhirnya banyak anak-anak yang telantar dan putus sekolah. Hal ini tidak perlu terjadi karena sebetulnya dia mampu kalau kegigihannya ada," tulis Wayan Mudra.

6. Kisah Men Brayut berhasil cerita menjadi cerita dengan tokoh perempuan yang luar biasa karena kesuburan rahimnya

Legenda Men Brayut di Bali, Perempuan yang Berhasil Mendidik 18 AnakSeniman dan aktivis perempuan asal Sidemen Kabupaten Karangasem, Cokorda Sawitri atau yang akrab disapa Cok Sawitri. (Facebook.com/cok.sawitri)

Seniman dan aktivis perempuan asal Sidemen Kabupaten Karangasem, Cokorda Sawitri atau yang akrab disapa Cok Sawitri, juga pernah menceritakan kisah Men Brayut dalam blog pribadinya, coksawitrisidemen.blogspot.com. Namun tulisan itu kaitannya dalam rangka perayaan Galungan. Jalan ceritanya ditulis sama seperti yang tertuang dalam gaguritan dengan pupuh Tikus Kapating (Sinom).

Ada satu ulasan yang menarik untuk dikutip. Bahwa keluarga Brayut menyadari memiliki anugerah yang luar biasa akan kesuburan rahim. Anak-anak Brayut tumbuh sehat, kuat, pintar, tekun belajar, bisa mendatangkan rejeki, dan mendapatkan jodoh yang menyenangkan hati di tengah perekonomiannya yang buruk.

Pasutri istri yang tidak keruan hidupnya karena melahirkan banyak anak, kini justru menjadi kekaguman bagi semua orang. Di saat itulah pasangan ini mulai menyiapkan diri untuk memasuki hidup spiritual dengan jalan budhapaksa: keduanya bertapa di bawah pohon kepuh yang memiliki gua. Hingga akhirnya mereka memantapkan hati untuk pergi menyepi, dan sebelum itu membagikan warisan kepada semua anaknya.

Kata Cok Sawitri saat dikonfirmasi IDN Times melalui WhatsApp, kisah ini bisa dipetik pelajarannya tergantung dari siapa yang membaca.

"Kan sekarang tinggal yang membaca dengan wawasannya. Lalu mengapresiasi dengan kemampuan wawasan masing-masing," ujar perempuan yang telah mengeluarkan empat novel, di mana novel judul terbarunya berjudul "Sitayana" tahun 2019.

Namun menurutnya, kisah ini berhasil menjadi cerita dengan tokoh perempuan yang luar biasa karena kesuburan rahimnya:

"Kalau dijadikan inspirasi boleh sebagai kisah. Dijajarkan dengan kehidupan kini. Ya, kan Men Brayut adalah kisah. Tak akan menjelaskan apapun yang sudah dikisahkan. Maka yang membaca sebagai kisah itu yang seharusnya memahami dalam pemahaman akan bacaannya."

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya