11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi Seni

Patut diapresiasi. Bangga jadi orang Bali

Ajang tahunan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 tahun 2019 resmi berakhir ditandai dengan penutupan yang dilaksanakan di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya (Art Center) Denpasar, Sabtu (13/7) malam lalu. Namun sebelum semuanya berakhir, untuk mengapresiasi pengabdian para seniman yang telah memajukan seni budaya Bali, Pemerintah Provinsi Bali memberikan penghargaan pengabdi seni kepada 11 seniman terpilih.

Pemberian penghargaan diberikan pada 4 Juli 2019 lalu. Tidak saja penghargaan berupa piagam dan uang, Gubernur Bali I Wayan Koster juga menawarkan dua pilihan. Bisa jaminan kesehatan bila sang seniman sudah mulai sakit-sakitan, atau jaminan pendidikan untuk anak cucunya di kemudian hari.

Kesebelas seniman penerima penghargaan pengabdi seni ini diantaranya Dewa Putu Gingsir (Seniman Sastra dari Badung), I Nyoman Sukanta (Seniman Ukir Telor dari Bangli), Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun (Seniman Tari dan Tabuh dari Buleleng), I Nyoman Suarsa (Seniman Tari dari Denpasar), I Wayan Sugita (Seniman Drama Gong dari Gianyar).

Ada juga I Komang Arsana (Seniman Sastra Daerah dari Jembrana), Ida Ayu Karang Adnyani Dewi (Seniman Tari dari Karangsem), Ida Bagus Ketut Wedana (Seniman Sastra dari Klungkung), I Ketut Suada (Seniman Tari Arja dari Tabanan), I Wayan Gulendra (Seniman Lukis dari ISI Denpasar), dan I Wayan Senen (Seniman Karawitan yang berkarya dari Yogyakarta).

Mereka merupakan seniman terpilih yang telah melalui proses seleksi oleh Tim Kurator Pesta Kesenian Bali. Seperti apa sih sepak terjang mereka? Berikut profilnya:

1. Dewa Putu Gingsir (Badung)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniDok.IDN Times/Istimewa

Dewa Putu Gingsir (71) merupakan seniman asal Banjar Sangiangan, Desa Cemagi, Kabupaten Badung yang terkenal aktif menekuni bidang sastra. Sejak tahun 1980-an, ia terjun di bidang seni dharmagita khususnya kekawin atau palawakya. Dari menekuni bidang tersebut, ia pun kerap meraih prestasi. Berikut prestasi beliau:

  • Juara III Lomba Palawakya Tingkat Kabupaten Badung (1989)
  • Juara I Lomba Kekawin Tingkat Kabupaten Badung (1990).
  • Juara II Lomba Kekawin Tingkat Provinsi Bali (1991)
  • Juara I Lomba Palawakya Tingkat Provinsi Bali (1993)
  • Juara II Lomba Membaca Palawakya Utsawa Dharma Gita Nasional (1993)

Masih banyak lagi prestasi beliau. Pengalaman dan kompetensinya dibidang dharmagita membuat Dewa Putu Gingsir sering dipercaya menjadi dewan juri pada ajang lomba kekawin maupun palawakya. Berkat pengalamannya di tingkat nasional, ia juga kerap ditunjuk sebagai pembina kontingen Bali pada ajang yang sama di beberapa daerah seperti di Jakarta (2003) dan (2012), Lampung (2005), Kendari (2007), Bali (2009), dan Palembang (2014). 

Bagi Dewa Gingsir, seni sastra merupakan salah satu cara dalam mendalami pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan spirit keagamaan. Di dalamnya banyak terkandung sikap-sikap mental positf yang membentuk budi ataupun perilaku tentang pengetahuan akan spirit agama. Sehingga seorang seniman yang mendalami sastra tentu kaya akan pengetahuan.

2. I Nyoman Sukanta (Bangli)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniIDN Times/Irma Yudistirani

I Nyoman Sukanta (57) merupakan seniman asal Banjar Pande, Kecamatan/Kabupaten Bangli yang menggeluti seni ukir. Uniknya, dia menekuni seni ukir telur. Berkat tangan dinginnya, limbah-limbah kulit telur disulap menjadi karya seni yang bernilai tinggi.  

I Nyoman Sukanta mewarisi bakat seni ukir dari sang ayah, Alm. I Nyoman Tanggap. Awalnya, Sukanta menekuni seni ukir kayu, namun saat melihat sang ayah memahat telur, timbul keinginan Sukanta untuk ikut mencoba. Sayangnya keinginannya tersebut tak lantas diamini sang Ayah. Sukanta akhirnya melakukan secara diam-diam saat Ayahnya tidak ada.

Melihat kemampuan dan keteguhan yang dimiliki Sukanta, sang ayah akhirnya mengizinkannya untuk menekuni seni ukir telur. Telur yang digunakan Sukanta sebagai media ukir tidak sembarang telur. Ia memilih kulit telur burung unta dan burung kaswari sebagai tempat mencurahkan kreativitasnya.

Dari seni ukir telur, Sukanta memperoleh banyak pengalaman. Tahun 1996 Sukanta pernah diundang ke Istana Negara oleh Ibu Tien Soeharto (Alm) untuk ikut dalam pameran Ria Pembangunan. Selain itu Sukanta pernah juga ikut dalam Indonesia Expo di Monumen Nasional (Monas) Jakarta tahun 2001, dan INACRAFT di Jakarta Convention Centre (JCC) tahun 2008 lalu. Kini, karya seni ukir telurnya sudah didaftarkan ke Kementrian Hukum dan HAM, dan memperoleh Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) pada tahun 2017 lalu.

3. Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun (Buleleng)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniIDN Times/Irma Yudistirani

Sosok Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun (64) dikenal sebagai seniman tari asal Bali Utara, Buleleng. Dalam penyerahan penghargaan pengabdi seni beberapa waktu lalu terungkap, rupanya pria yang akrab dipanggil Gung Kak ini ternyata guru seni Gubernur Bali, I Wayan Koster, saat menempuh pendidikan di SMA Negeri Singaraja.

Seniman tari yang tinggal di Jalan Pulau Misol Nomor 38, Singaraja, ini memiliki segudang prestasi. Tak hanya seni yang berbau tradisi, Gung Kak pun handal dalam menggarap seni modern seperti teater ataupun drama, di antaranya Juara I Lomba Drama Modern tingkat Kabupaten Buleleng (1985) dan Juara I Festival Cak se-Bali (1994).

Kemudian bersama Sekaa Gong Banda Sawitra, Desa Kedis, Gung Kak mengikuti Festival Tari Klasik dan Tradisional tahun 1975. Sementara saat bersama sekaa Gong Desa Menyali, ia mengikuti Parade Sendratari Ramayana di Banyuwangi, Jawa Timur tahun 1976.

Kiprah lainnya, Gung Kak juga memiliki andil menjadi penggarap bondres Cak Anti Narkoba tahun 2000 sebagai duta Provisi Bali. Juga membawakan Tari Janger saat  mewakili Bali dalam Festival Tari Rakyat Nasional tahun 2005.

Di bidang organisasi, dirinya tercatat pernah ikut aktif dalam kepengurusan Ikatan Seni Tari dan Tabuh (ISTATA) Kabupaten Buleleng tahun 1985-1990. Bahkan Agung Pemayun dipercaya selama empat periode ikut sebagai Majelis Pertimbangan Budaya (Listibya) Kabupaten Buleleng dari tahun 1990 hingga 2009.

4. I Nyoman Suarsa (Denpasar)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniIDN Times/Irma Yudistirani

Meski lahir dari trah seorang Cina (Bali), namun kemampuan I Nyoman Suarsa (62 tahun) sebagai seniman tari di Bali tak bisa diragukan lagi. Seniman asal Wangaya, Denpasar yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Yang Pung ini memiliki kontribusi besar dalam dinamika perkembangan tari di Bali.

Ia menapaki panggung seni pertunjukan Bali lewat tari Baris dan Kebyar Terompong sejak kelas 3 SD. Kemampuan yang ia miliki sebagai seorang penari bisa dikatakan secara otodidak. Gerakan demi gerakan ia perhatikan dengan saksama membuatnya semakin termotivasi untuk belajar menari meskipun sang ayah Nyo Chichyang melarangnya.

Kepiawaiannya dalam menerima ilmu membuat banyak orang kagum, sebab saat itu tak banyak anak-anak yang pandai menguasai tari Baris sebaik dirinya. Ia kemudian mulai tertarik dengan tari Kebyar Terompong saat ia menonton pagelaran Gong Geladag di Pemedilan pada era 1970-an. Ayahnya kemudian mencarikan ia seorang guru bernama Pan Dena (alm) asal Lukluk, Badung.

Pada akhirnya ia juga berkesempatan menimba ilmu dari seniman karawitan I Wayan Beratha yang banyak mengajarinya agem-agem tari Kebyar Terompong hingga pentas perdana di Banjar Sad Merta Denpasar. Dia juga beberapa kali merasakan indahnya menari di Istana Negara, dan memberikan workshop tari di Universitas Negeri Jakarta.

Dia juga tercatat pernah pentas di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), menjadi penari dalam acara “Taue Song Asian Festival” tahun 2005 di Jepang hingga menjadi duta Kesenian ke beberapa Negara di Eropa. Beberapa acara yang pernah ia garap di antaranya Mahabandana, dan Menyongsong Matahari yang kini berganti nama menjadi Melepas Matahari.

Membuktikan kredibilitasnya sebagai seorang seniman, Suarsa juga menciptakan banyak karya-karya tari. Di antaranya Tari Gopala dan Tari Tedung Sari yang tetap eksis diajarkan kalangan sanggar-sanggar tari di hampir seluruh wilayah di Bali hingga kini.

5. I Wayan Sugita (Gianyar)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniIDN Times/Irma Yudistirani

Sempat jaya pada era 1980-an, Seni Drama Gong banyak mengalami pasang surut. Keberadaannya kian meredup, digantikan seni-seni pertunjukan lainnya. Tetapi I Wayan Sugita (54), seniman Drama Gong yang terkenal memainkan peran antagonis Patih Agung ini tak mau menyerah begitu saja. Seniman asal Banjar Bukit Batu, Samplangan Gianyar terus berupaya berkarya melestarikan seni yang membesarkan namanya itu.

Peran Patih Agung yang diambilnya selalu mengudang caci maki penonton. Bukan karena penampilannya yang buruk melainkan karena ia berhasil memainkan lakon tersebut. Ia pertama kali mencicipi seni drama gong pada tahun 1984 mewakili Kabupaten Gianyar dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB). Kala itu, kelompok seninya, sekaa drama gong Saraswati meraih juara 2.

Dari situ, ia terus menekuni perannya sebagai Patih Agung. Ia beberapa kali berganti sekaa mulai dari bersama sekaa Panjamu Asrama, sekaa Wira Bhuana yang melahirkan nama nama besar seperti Rawit, Suratni, Jero Madyayani. Sugita pernah pula bergabung dalam Kerthi Bhuana, dan Bintang Remaja Gianyar. Bersama Bintang Remaja Gianyar, Sugita dipercaya mewakili Kabupaten Gianyar dalam lomba drama gong di PKB pada tahun 1993 dan meraih juara 1.

Ia juga tercatat pernah mengantarkan sekaa drama gong Bandana Budaya sebagai juara 2 di tahun 1994. Ia juga yang membina sekaa drama duta Kota Denpasar dalam PKB tahun 1995 hingga peroleh juara 1. Kemudian di tahun 1997 Sugita membentuk sekaa drama gong Sancaya Dwipa Milenium bersama almarhum Wayan Tarma (Dolar) yang eksis hingga kurun 2002.

Memasuki era tahun 2000, perkembangan drama gong mulai menurun. Menyikapi hal tersebut, Sugita berkomitmen mengembangkan seni drama gong agar tetap eksis, berkembang, dan disukai banyak orang. Munculah sikap Sugita membentuk SEKDUT (Sekaa Demen Ulian Tresna), dimana sekaa ini mewadahi grup bondres, prembon, peguyuban lawak, calonarang, hingga MC berbahasa Bali tanpa meninggalkan seni drama gong sebagai pondasinya.

6. I Komang Arsana (Jembrana)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniIDN Times/Irma Yudistirani

I Komang Arsana (66) merupakan seniman asal Kabupaten Jembrana yang aktif di bidang Dharmagita. Meski usianya tak lagi muda, Arsana tetap tekun dalam seni dharmagita khususnya sloka dan kakawin. Berbagai prestasi diraihnya karena kemampuannya dalam olah vokal dan kecakapannya pada sastra.

Prestasinya seperti mewakili Kabupaten Jembrana dalam Utsawa Dharma Gita tingkat provinsi dalam bidang lomba kekawin tahun 1986. Saat itu, ia menyabet juara I. Prestasinya di bidang sekar agung tersebut mengantarkannya untuk maju mewakili Provinsi Bali dalam Utsawa Dharma Gita tingkat nasional pada tahun 1987.

Berkat kompetensi yang ia miliki, Arsana dipercaya untuk duduk sebagai ketua Widya Sabha Kabupaten Jembrana dua periode berturut-turut. Organisasi itu ia ketuai mulai tahun 2010-2015 dan periode ke dua tahun 2015 hingga 2020 mendatang. Selain itu, dirinya juga dipercaya untuk menjadi pembina Utsawa Dharma Gita di Kabupaten Jembrana.

Dharmagita secara khusus dilantunkan saat berlangsungnya ritus keagamaan. Mendalami seni dharmagita tentunya bukan perkara mudah, karena dibutuhkan kepiawaian dalam melantunkan nada-nada serta pendalaman tentang pengetahuan keagamaan. Meski tidak mudah, namun Arsana percaya ilmunya dalam hal sloka dan dharma wacana bisa ia tularkan pada generasi muda di Jembrana.

7. Ida Ayu Karang Adnyani Dewi (Karangasem)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniDok.IDN Times/Istimewa

Dari sekian banyak seniman yang menerima penghargaan, Ida Ayu Karang Adnyani Dewi (63) adalah satu-satunya perempuan. Sisanya laki-laki. Perannya dalam merekonstruksi seni klasik Gambuh serta menciptakan karya-karya tari baru menjadi sebuah kebanggaan yang ia rasakan sebagai seorang seniman.

Perempuan asal Griya Alit, Dusun Tri Wangsa, Budakeling, Karangasem ini setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kemudian bekerja sebagai seorang Dosen di IKIP Saraswati Tabanan sejak tahun 1986 higga 2010. Saat sebagai dosen, ia juga didaulat sebagai pembina tari di kampusnya. Beberapa garapan yang pernah ia ciptakan kala itu ialah Fragmen Tari Dewi Saraswati (1989), Tari Padma Saraswati (1990) dan Tari Saraswati Murti (1991).

Sejak tahun 2011, dirinya memutuskan hijrah kembali ke tanah kelahirannya Karangasem dengan menjadi Dosen di STIKIP Agama Hindu Amlapura hingga sekarang. Salah satu karyanya di kampus ini yakni menciptakan Tari Mahadewi pada tahun 2018. Pada tahun 2006 kemudian membentuk sanggar Tri Sila di Bebandem, Karangsem.

Beberapa karya yang ia hasilkan seperti Tari Dwi Ratna, Tari Sekar Tunjung dan Tari Kupu-Kupu Kuning. Tak hanya piawai dalam seni tari, Adnyani Dewi bahkan banyak menciptakan karya sastra berupa puisi dan lagu di tahun 2006. Dwi Warna, Gotong Royong, Bali Dwipa, Lingga Yoni, Kali Mutu, Sekar Padma, dan lainnya adalah karya-karya inspiratifnya.

Tahun 2007 dirinya merevitalisasi Gambuh bersama Sanggar Cita Wistara, Desa Budakeling. Sekaa ini sempat pentas di beberapa daerah seperti di Bugbug, Manggis, Tianyar dan Subagan. Adnyani Dewi juga cakap memerankan tokoh Galuh dalam pementasan seni Arja dan ia lakoni semenjak tahun 2008. Dia juga menggarap seni Parwa anak-anak tahun 2015, dan seni Gambuh anak-anak pada 2018 lalu.

Sadar akan pentingnya menyeimbangkan estetika seni dan spirit agama, dia juga membentuk sebuah pasraman yang diberi nama Pasraman Bajra Jnana di Desa Budakeling. Pesraman ini terfokus pada materi yang berkaitan dengan seni budaya Bali seperti: seni tari dan tabuh, seni kidung atau pesanthian, mejejahitan, tata busana adat bali, membuat jajan suci, dan lainnya.

8. Ida Bagus Ketut Wedana (Klungkung)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniIDN Times/Irma Yudistirani

Bali memiliki banyak sekali seniman di bidang palawakya. Satu diantarnya yakni Ida Bagus Ketut Wedana. Pria asal Desa Cucukan, Selat, Kabupaten Klungkung ini tak pernah berhenti untuk terus mengabdikan dirinya di bidang seni dan budaya khususnya di bidang seni palawakya.

Dalam palawakya, dirinya kerapkali menjadi pilihan utama Kabupaten Klungkung dalam ajang lomba-lomba palawakya. Berbagai ajang lomba ia ikuti dan meraih segudang prestasi. Seperti menjadi Juara 1 Lomba Palawakya tingkat Kabupaten Klungkung pada tahun 2002, dan Juara 2 Palawakya tingkat provinsi Bali dalam gelaran Utsawa Dharma Gita tahun 2004.

Pada tahun 1999 Ida Bagus Ketut Wedana juga sempat mengikuti misi kesenian festival budaya di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Ia juga sempat berkiprah di panggung internasional tepatnya di Korea dalam urusan menjalankan misi kesenian. Di usianya yang semakin medua, Ida Bagus Ketut Wedana tidak ingin generasi muda enggan belajar seni terutama Dharmagita. Karena itu saat ini ia juga membina anak-anak muda yang mau belajar dan mendalami palawakya.

9. I Ketut Suada (Tabanan)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniIDN Times/Irma Yudistirani

I Ketut Suada (58) merupakan seniman arja asal Kabupaten Tabanan. Ia dikenal piawai memerankan sosok Wijil dalam pementasan Arja. Seniman asal Banjar Buduk, Desa Bengkel, Kediri, Kabupaten Tabanan ini mengawali karirnya dalam dunia seni Arja dengan bergabung bersama sekaa Arja Bianglala.

Ia mengaku, selain karena hobi pada kesenian Arja, ia awalnya menekuni kesenian arja karena adanya seni Arja yang disakralkan di desanya. Ini pun menuntut ia harus bisa meenguasai demi melestarikannya. Lambat laun, ia merasa nyaman dengan kesenian arja. Karakter yang diperankannya pun menjadi daya tarik saat pentas Arja dan selalu ditunggu-tunggu penonton.

Ia kerapkali terlibat dalam Pekan Arja se-Bali yang diselenggarakan tahun 1986. Suada juga berpartisipasi menampilkan Arja di Panggung Penerangan dalam rangka memperingati HUT RI tahun 1996. Serta menyandang predikat Pasangan Punakawan terbaik dalam acara Lomba Drama Gong serangkaian HUT Bali Post tahun 2003.

Selain itu, kiprahnya menari arja juga ke hampir semua wilayah di pulau Bali seperti Provinsi Lampung, Ciledug Banten, Lombok Barat dan Lombok Timur. Tak hanya seni arja, seniman ini pun handal dalam memainkan seni pakeliran sebagai dalang wayang kulit. Meskipun terjadi banyak pengembangan, namun Suada tetap memegang teguh pakem-pakem seni arja.

10. I Wayan Gulendra (ISI Denpasar)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniIDN Times/Irma Yudistirani

Keteguhannya menggeluti seni lukis sejak masih anak-anak, membuat seniman I Wayan Gulendra kini meraih kesuksesan lewat goresan-goresan tangannya pada kanvas. Seniman lukis asal Banjar Patolan, Desa Pering, Blahbatuh Gianyar ini memutuskan untuk merantau ke luar Bali demi mempertajam pengetahuannya di bidang lukis dan memilih kuliah di ISI Yogyakarta (1988) hingga menyelesaikan Pascasarjana di kampus yang sama tahun 2005 silam.

Pria yang kini menjadi akademisi Jurusan Seni Rupa Murni di ISI Denpasar ini sudah menujukkan karya-karya seninya melalui pameran sejak era 1992. Gulendra rutin memamerkan karyanya dalam pameran bersama serangkaian PKB sejak tahun 1992 hingga tahun 2003. Ia pun sempat mengikuti pameran bersama dalam rangka pembukaan Museum Rudana (1995).

Tercatat puluhan pameran telah ia gelar sejak saat itu hingga kini. Beberapa diantaranya seperti; Pameran bersama STSI Denpasar di Museum Neka (1996), pameran bersama STSI Denpasar di enam museum berbeda di Bali (2000), Pameran ‘Pangider Bhuana’ di Museum Rudana Ubud (2002), Pameran dalam rangka Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2014 dan 2016, dan banyak lagi pameran lainnya.

Tak hanya di Bali, Gulendra pun kerap mengikuti pameran di daerah-daerah lain seperti; pameran bersama dosen ISI Denpasar di Societ Yogyakarta (2003), Pameran bersama dosen ISI Denpasar di Malang dan Museum Widayat Magelang (2004), pameran tunggal dalam rangka tugas akhir pascasarjana (2005), pameran bersama di Lombok (2007). Termasuk menggelar pameran bersama STSI Denpasar di Canberra Australia (1998), pameran bersama di Cina (2017) dan Pameran Drawing di Okinawa Jepang (2018).

11. I Wayan Senen (Yogyakarta)

11 Seniman Bali yang Terima Penghargaan Pengabdi SeniIDN Times/Irma Yudistirani

Bagi seniman karawitan, I Wayan Senen (69), ada perasaan bangga ketika bisa melakoni seni dan budaya hingga ke luar Bali. Seniman asal Karangasem ini banyak berkontribusi memajukan seni budaya Bali di tanah Yogyakarta.

Usai menamatkan pendidikannya di Konservatori Karawitan (KOKAR) Bali tahun 1970, ia lanjut ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar hingga lulus di tahun 1975. Senen kemudian bertekad melanjutkan studinya di ASTI Yogyakarta dan lulus tahun 1980. Sedangkan lulus S-3 di tahun 2013.

Kecakapannya dalam bidang akademis membuat dirinya memiliki segudang pengalaman sebagai tenaga pengajar di ASTI Yogyakarta (1976-1984), ISI Yogyakarta (1984-2015), dan Pascasarjana ISI Yogyakarta (2002-2013). Ia memiliki banyak sekali karya dibidang seni karawitan.

Beberapa diantaranya seperti Lagu “Jaya Wijaya” karya bersama Singgih Sanjaya yang dipentaskan tahun 1995 di Jakarta. Bersama seniman Jepang Shin Nakagawa dengan karya berjudul “Awan” yang ditampilkan tahun 1997. “Nyanyian Negriku” merupakan karya selanjutnya di tahun 2003, gending “Tabuh Lima Nada” (2007), “Duel Kendang” (2008), gending “Bhakti Swari” yang meraih predikat penyajian terbaik pada Festival Seni Sakral Keagamaan Hindu I Nasional 2010 di Surakarta.

Senen juga sempat bertidak sebagai sutradara dalam sendratari Kanishka yang dipentaskan saat Tawur Kasanga Nasional di Candi Prambanan tahun 2019, serta berbagai gending iringan tari lainnya. Senen yang tinggal di daerah Sleman, Yogyakarta ini juga telah banyak menghasilkan karya tulis yang berkaitan dengan seni karawitan. Seperti “Aspek Ritual Nusantara” (1997), “Komparasi Tembang Macapat Jawa dan Bali” (2001), “Wayan Beratha Pembaharu Gamelan Kebyar di Bali” (2002), “Komparasi Gending Jawa dan Bali” (2003), “Perempuan dalam Seni Pertunjukan di Bali” (2005), “Kualita Keindahan dalam Gending Bali” (2006), “Nilai Edukatif Dimensi Dua, Tiga, dan Briuk Sepanggul dalam Gamelan Bali (2006), “Bunyi-bunyian dalam Upacara Keagamaan Hindu di Bali” (2015).

Baca Juga: Fenomena Pernikahan Beda Kasta di Bali & Perawan Tua, Diskriminasikah?

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya