5 Alasan Kenapa Perempuan Masif Bersuara di Women's March

Di Bali, ada model dan transgender juga ikut bersuara

Hari Perempuan Internasional sudah diperingati tanggal 8 Maret lalu. Hari Kartini juga baru seminggu berlalu. Tapi perjuangan perempuan dalam ‘memerdekakan’ dirinya tidak hanya sebatas satu hari saja saat peringatan itu berlangsung. Perlawanan terhadap diskriminasi perempuan harus tetap hidup sampai kapanpun.

Seperti yang dilakukan oleh para kaum perempuan di beberapa provinsi di Indonesia dalam beberapa hari ini. Mereka melakukan aksi “Women's March” sebagaimana yang dilakukan secara global. Gerakan Women's March Bali 2019 diinisiasi oleh Gender, Sexuality, and Human Rights (GSHR) Udayana, mengelilingi Lapangan Puputan Margarana, Renon, Denpasar, saat car free day, Minggu (28/4).

Berikut ini serangkaian duka dan alasan kenapa aksi ini masif dilakukan di beberapa wilayah Indonesia:

1. Aksi Women's March Bali 2019 sengaja dilaksanakan setelah pemilu, supaya tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu pada tahun politik

5 Alasan Kenapa Perempuan Masif Bersuara di Women's MarchIDN Times/Diantari Putri

Koordinator Humas dan Media Social Women's March Bali 2019, Devy Cendana, mengatakan ini merupakan kegiatan yang kedua kalinya dilaksanakan di Bali. Selain Bali, ada juga beberapa kota lain di Indonesia yang melaksanakan kegiatan serupa dengan mengambil waktu sesudah pemilu serentak di Indonesia.

Menurut Devy, mereka tidak ingin kegiatan ini dianggap sebagai hal yang berbau politik, apalagi sampai dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu pada tahun politik ini.

“Kegiatan seperti ini sangat rentan dikaitkan dengan kegiatan politik. Namun kami tegaskan ini murni gerakan sosial dari masyarakat, terutama kaum perempuan. Kegiatan ini ingin menunjukkan bahwa perempuan berani bersuara,” ujarnya.

2. Perempuan hingga organisasi masih banyak yang enggan dan sungkan ikut gerakan ini

5 Alasan Kenapa Perempuan Masif Bersuara di Women's MarchIDN Times/Diantari Putri

Aksi Women's March Bali 2019 diikuti oleh puluhan perempuan terutama dari generasi millennials. Mereka merupakan perwakilan dari berbagai komunitas seperti LBH Bali, Kisara, Remaja Kisara, Women Cycling Club, Indo Runners Bali, Gaya Dewata, dan masyarakat umum yang didominasi oleh kaum perempuan. Devy menceritakan, untuk mengumpulkan para perempuan supaya berani bicara bukanlah hal mudah.

“Kalau di Bali kami lihat masih kurang awareness ya, kurang berani berbicara dan keluar dari zona nyaman mereka. Kami pendekatan saja ke mereka tidak mudah. Bahkan organisasi yang kita coba rangkul, masih banyak yang enggan dan sungkan untuk datang,” ungkapnya.

3. Selain perempuan, Women's March Bali 2019 juga memperjuangkan kaum minoritas dan termarjinalkan

5 Alasan Kenapa Perempuan Masif Bersuara di Women's MarchIDN Times/Diantari Putri

Meski tajuk kegiatan Women's March Bali 2019 sebagai aksinya kaum perempuan, namun nyatanya aksi tersebut tidak hanya memperjuangkan hak-hak perempuan. Mereka juga menyuarakan soal diskriminasi terhadap kaum minoritas, termarjinalkan atau terpinggirkan. Sehingga tidak diikuti oleh kaum perempuan saja. Tetapi juga beberapa laki-laki, dan ada seorang transgender bernama Tariska Putri.

Ada beberapa tuntutan yang mereka suarakan dalam aksi Women's March Bali 2019. Pertama, hentikan pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka juga menekankan untuk lawan pelecehan yang terjadi di kampus, di mana pelecehan ini cukup sering terjadi.

Tuntutan mereka juga adalah kesetaraan gender, dan lindungi hak-hak perempuan sebagai pekerja dalam bidang apapun. Tidak luput, budaya patriarki yang tidak memerdekakan jiwa raga perempuan juga disuarakan.

Kedua, mereka menuntut untuk menghentikan diskriminasi terhadap kaum terpinggirkan seperti LGBT, ODHA HIV/AIDS, mantan pecandu, pekerja seks, dan kaum terpinggirkan lainnya. Devy berharap, isu-isu ini lebih banyak lagi dibicarakan oleh masyarakat.

“Pembicaraan atau diskusi tentang hal-hal ini adalah langkah pertama. Dengan semakin banyak yang berbicara, harapannya nanti akan bisa melahirkan pemimpin atau wakil yang bisa menyuarakan di DPR atau di lembaga lain, yang bisa mewujudkan suatu hukum yang adil bagi semua orang,” harap Devy.

4. Pelecehan seksual terhadap perempuan masih dianggap biasa saja oleh laki-laki. Seperti kisah mahasiswa yang jadi modeling berikut ini:

5 Alasan Kenapa Perempuan Masif Bersuara di Women's MarchIDN Times/Diantari Putri

CB (22) seorang mahasiswa sebuah universitas di Bali turut membagikan kisahnya ketika pernah mengalami pelecehan seksual di acara Women's March Bali 2019. Selain sebagai mahasiswa, gadis asal Timor Leste ini juga sambil meniti karier di bidang modeling. Terhitung sudah sekitar 2,5 tahun ia melakoni kariernya sebagai model.

Namun menjadi model bukanlah karier yang tanpa risiko. Ia kerapkali mendapatkan citra sebagai model yang ‘mau dibayar’ untuk diajak tidur. Dirinya pun mengaku pernah dilecehkan seperti itu. Oknum yang menggodanya seperti bos-bos berduit. Namun, ia berani tegas menghadapi pelecehan itu.

“Kalau berpakaian seksi itu hanya untuk profesi saja. Tidak ada kewajiban untuk menerima ajakan seperti itu. Saya pernah dilecehkan secara oral (Secara lisan) dan melalui teks. Diajak tidur bersama. Tapi saya katakan, saya tidak serendah itu dan tidak mengambil pekerjaan seperti itu,” ceritanya.

Lambat laun, karena ketegasannya itu membuat yang melecehkan mulai berkurang. Selain sebagai model, CB juga aktif sebagai influencer di sosial media. Ia kerapkali membagikan konten-konten positif kepada para pengikutnya. Selain itu, ia juga ingin menunjukkan bahwa perempuan bisa setara dengan laki-laki dalam mengerjakan hal apapun.

“Tidak semua model itu buruk dan gampang menerima ajakan seperti itu. Makanya saya share konten-konten positif di akun sosial media saya. Saya ingin citra model ke depan menjadi lebih baik,” katanya.

5. Transgender ini pernah didiskriminasi di pelayanan kesehatan

5 Alasan Kenapa Perempuan Masif Bersuara di Women's MarchIDN Times/Diantari Putri

Selain CB, seorang transgender bernama Tariska Putri (44) juga berbagi pengalaman. Tariska berasal dari Surabaya dan sudah sembilan tahun tinggal di Bali. Ia mengaku pernah mengalami diskriminasi di sebuah pelayanan kesehatan. Diskriminasi yang dialaminya seperti dinomorduakan dalam pelayanan. Justru orang lain yang antreannya lebih belakang didahulukan.

“Saat saya mau periksa atau berobat, kadang yang lain didahulukan. Kayak kita digampangin gitu. Harusnya saat itu giliran saya, tapi tapi mereka bilang, 'tunggu dulu ini ibunya lebih penting lebih gawat'. Padahal sakitnya sama, cuma sakit demam dan flu,” ceritanya.

Tariska menyadari sisi perempuan dalam dirinya lebih mendominasi ketika usia 10 tahun. Kala itu ia masih sembunyi-sembunyi dari keluarganya. Sejak tinggal di Bali, barulah ia berani menampakkan diri menggunakan pakaian-pakaian perempuan. Kadang, ejekan dan gunjingan masih dilakukan oleh masyarakat.

“Kalau di Bali sih biasa saja menerima kelompok seperti kami. Tidak terlalu welcome, tidak terlalu menentang. Kalau di masyarakat ya masih ada sikap-sikap seperti mengejek. Terus kalau pas kita lewat, diomongi. Prinsip saya, selama saya tidak mengganggu mereka, saya tidak peduli mereka mau ngomong apa,” katanya.

Tariska aktif ikut berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Saat ini ia bekerja di bidang properti. Ia bersyukur di tempat kerjanya tidak sampai ada yang melecehkan atau mengejeknya hanya karena Tariska seorang transgender. Ia cuma berharap satu, hidup setara dengan masyarakat lainnya.

“Kalau di tempat kerja, ngejek sih gak ada. Tapi gak tahu juga di pikiran mereka kayak gimana. Saya selalu bilang kepada yang ngejek, bagaimana bisa dihargai kalau kamu sendiri tidak bisa menghargai orang lain,” jelasnya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya