Kita Cuma Diuji Kekuatan Mental oleh Tuhan

Ketut Sinar berharap tidak cepat-cepat dipanggil Tuhan YME

Denpasar, IDN Times – Sore itu, matahari cukup terik. IDN Times bersama seorang relawan dari Ketimbang Ngemis Bali menuju ke Kelurahan Sesetan, Kota Denpasar. Tepatnya di depan lapangan yang biasanya digunakan sebagai tempat konser musik dangdut, ada sebuah gang kecil selebar sekitar satu meter. Setelah melewati belokan sempit, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang lekat dengan semerbak bunga cempaka putih. Ketika memanggil nama, seorang perempuan keluar menemui kami.

Ia bernama Ketut Sinar (60) asal Kabupaten Gianyar, tinggal bersama ketiga anak laki-lakinya yang cacat sejak lahir.

“Ketut Sinar,” jawabnya ketika dikunjungi, Kamis (4/3/2021) lalu.

Baca Juga: 7 Doa Agama Hindu Supaya Mendapatkan Kedamaian Hidup

1. Ketut Sinar pisah ranjang sejak 30 tahun lalu dengan suaminya. Ia hanya mengandalkan pekerjaan sebagai pencari rongsokan

Kita Cuma Diuji Kekuatan Mental oleh TuhanKeluarga Ketut Sinar di Denpasar (IDN Times/Ayu Afria)

Pertanyaan-pertanyaan yang IDN Times ajukan telah membuka luka lama Ketut Sinar. Cerita ini ia simpan sendiri, seolah tidak ingin mengingatnya lebih jauh. Ketut Sinar pindah ke daerah Sesetan sejak menikah dengan mantan suaminya. Tempat yang ia tinggali sekarang adalah rumah milik mertuanya. Mereka kemudian dikaruniai empat anak laki-laki masing-masing bernama Wayan Murdita (40), Made Sudiarta (39), dan Komang Sudiana (38).

“Pertama cacat, kedua cacat, ketiga cacat. Terakhir aja yang normal. Ya tapi emang bagaimanapun keadaannya ibu, ya seperti ini. Karena mungkin ini pemberian ya. Sebagai perempuan, ibu harus punya tanggung jawab sama anak. Apapun pemberiannya itu harus ibu rawat gitu,” ungkapnya.

Ia tidak berkenan menyebutkan nama anaknya yang nomor empat. Nada bicara Ketut Sinar berubah ketika IDN Times menanyakan keberadaannya.

"Saya punya anak yang sehat, tapi seperti tidak punya anak," katanya. Setelah itu, IDN Times tidak melanjutkan perbincangan tentang anaknya tersebut.

Pisah ranjang sejak 30 tahun lalu, mantan suaminya tetap memberikan nafkah kepada keluarga ini meskipun tidak setiap hari. Sebab mantan suami bekerja sebagai pemulung. Ketut Sinar memahami kondisinya jika memang ada kelebihan rezeki. Terlepas dari itu, ia tidak mau berpangku tangan. Ketut Sinar juga bekerja mencari rongsokan untuk membesarkan anak-anaknya.

“Nyari rongsokan bagaimana namanya anak ndak (Tidak) sehat. Cuman satu, ibu minta ketegaran jangan sampailah ibu putus asa. Mengeluh sebagai perempuan, namanya kita perempuan ya. Pemberian kalau memang bisa ya mudah-mudahan aja Tuhan memberi cobaan, selanjutnya nanti juga ngasih rezekinya.”

Baca Juga: Cerita Pasutri di Klungkung, Gubuknya Akan Dirobohkan dan Harus Pindah

2. Siang menjaga anak, malam mencari rongsokan sampai pagi hari

Kita Cuma Diuji Kekuatan Mental oleh TuhanFoto hanya ilustrasi. (Dok.Pribadi/Bernardinus Amanda Nugraha)

Selama lebih dari 20 tahun Ketut Sinar melakukan rutinitas yang sama: menjaga anak di siang hari, dan mencari rongsokan pada malam hingga pagi hari. Ia berangkat mencari botol dan barang-barang bekas lainnya naik sepeda gayung sekitar pukul 22.00 Wita, ketika anak-anak tidur terlelap. Ia berangkat menuju area Pasar Sanglah, Jalan Sudirman, sampai ke Banjar Pegok Sesetan. Ia baru sampai rumah di pagi harinya.

Nasibnya tergantung pada barang bekas yang ia temukan di jalan. Barang-barang tersebut kemudian dijual ke pengepul barang bekas. Upahnya Rp15 ribu per sekali mencari barang. Namun jika tidak banyak barang bekas yang ia dapatkan, terkadang hanya mendapatkan Rp5 ribu.

Namun semenjak pandemik, ia jadi sulit beraktivitas. Apalagi banyak supermarket dan toko yang tutup, sehingga barang bekas yang ia cari ikut berkurang. Karena adanya batasan keluar jam malam, Ketut Sinar mengaku pernah ditegur oleh pecalang dan disuruh pulang kembali.

“Malam dah. Kalau keadaan sekarang ini pernah ada yang bantu-bantuin. Jadi keadaan sekarang (Pandemik) sudah nggak bisa keluar lagi ibu. Dicegah, ditanya sama pecalang. Suruh pulang. Ndak enak. Ndak berani gitu. Jadi nyari kehidupan untuk nafkah anak susah sekarang.”

Ia mengaku mendapatkan bantuan sembako dari pemerintah pada saat-saat tertentu. Kadang juga dari relawan seperti Ketimbang Ngemis Bali dan bantuan secara perorangan.

3. Kita cuma diuji kekuatan mental oleh Tuhan

Kita Cuma Diuji Kekuatan Mental oleh TuhanIDN Times/Imam Rosidin

Ketut Sinar memilih mengunci anak-anaknya di dalam kamar berukuran kecil, agar tidak keluar rumah. Sebagai manusia, ia pernah putus asa atas kondisinya itu. Anak pertamanya tidak bisa berbicara. Bahkan isyarat untuk buang air besar saja tidak bisa. Sedangkan dua anak lainnya masih bisa memberikan isyarat.

“Kadang dulu itu sebelum ada pintu, lari. Pulang cari rongsokan ngejar lagi. Hilang aja. Sering hilang.

Dibilang putus asa, ya putus asa. Menyalahkan Tuhan ya pernah juga gitu. Tapi setelah dipikir-pikir, sebagai manusia kita salah. Ini kan kita cuma diuji kekuatan mental oleh Tuhan, kuat atau ndak sebagai perempuan menjalani hidup ini. Gitu aja. Makanya ibu memohon mudah-mudahan Tuhan ngasih kekuatan ibu biar bisa ngerumatin (Merawat) anak-anak.”

Ia masih tetap bersyukur melihat anak-anaknya. Karena mereka tidak pernah mengeluh, menangis maupun mengamuk. Suatu ketika, tetangga menawari mereka makan. Namun ketiganya kompak memberikan isyarat dengan tangannya, yang diartikan sebagai jawaban “Sudah makan”. Padahal mereka belum makan.

Baca Juga: 6 Doa Memulai Aktivitas Menurut Agama Hindu Bali

4. Ketut Sinar hanya ingin hidup lebih lama agar bisa merawat anak-anaknya

Kita Cuma Diuji Kekuatan Mental oleh TuhanKeluarga Ketut Sinar di Denpasar (IDN Times/Ayu Afria)

Dalam lubuk hatinya, ia selalu memohon kepada Tuhan agar tidak dipanggil kehadapan-Nya lebih dulu. Karena masih ingin lebih lama merawat anak-anaknya. Jika saatnya harus pergi, ia berharap bisa pergi dengan tenang. Ketut Sinar mencoba berserah diri, agar mereka bisa meneruskan hidupnya sendiri.

“Kasihan sama anak itu. Yang bikin ibu kuat itu apa? Ibu sebagai ibu sudah ndak kuat bagaimana kalau orang lain yang ngrumat, kan gitu. Kalau memang sudah waktunya ibu dipanggil, saatnya ibu, waktunya ibu sudah nggak ada, ya bagaimana nasibnya dia. Bisa dia (Anak-anaknya) yang ngelanjutin hidupnya. Kalau memang bisa, jangan dulu ibu dipanggil gitu.”

Setelah menceritakan kondisinya, IDN Times diizinkan untuk bertemu ketiga putranya. Mereka kompak menyapa kami di balik kaca kamar sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Mereka satu per satu mengajak berjabat tangan dan mencium tangan kami. Sambil membawa mainan handphone, mereka tidak berhenti mengajak kami berinteraksi.

Jika mereka bisa bahagia dengan keterbatasannya, mengapa kita tidak.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya