Asal Mula Munculnya Irama Nada Gamelan Bali Menurut Lontar

Dua lontar penting yang diwarisi oleh para penulis pendahulu

Masyarakat Bali begitu lekat dengan seni budaya. Seni karawitan pun tidak terpisahkan dengan konsep spiritual. Seni karawitan tertulis dalam dua lontar kuno Bali yakni Prakempa dan Aji Ghurnita. Dua lontar tersebut terkait dengan gamelan Bali dan saling berhubungan satu sama lainnya.

Komposer dan Etnomusikolog lulusan University of British Columbia, Kanada, Wayan Sudirana, mengungkapkan seni karawitan di Bali dalam konteks kosmologi tidak dapat dipisahkan dengan konsep berpikir secara spiritual. Bunyi dan tabuh-tabuhan pada dasarnya diperoleh lewat napas.

Dalam Lontar Prakempa dan Aji Ghurnita diulas asal mula bunyi berdasarkan aspek ruang kosmos (Pengider bhuana) beserta hasil penempatan dan turunan nada-nada pada penjuru mata angin. Terdapat pula korelasi dengan aksara (huruf tradisional), urip (angka), Dewa (penguasa karakter bunyi), warna, dan senjata gaib yang menjadi simbol sebelum pelafalan bunyinya.

Hal-hal tersebut kemudian menjadi sebuah kontruksi sistematika pengaturan bunyi yang bermuara pada estetika (witning sarire lango). Selanjutnya akan tercipta gubahan-gubahan terstruktur untuk menghasilkan sebuah pola lagu atau gending.

1. Ilmu yang diajarkan di dalam lontar tersebut kombinasi antara antara filsafat, etika, estetika, dan teknik permainan

Asal Mula Munculnya Irama Nada Gamelan Bali Menurut LontarLontar Aji Ghurnita. (screenshot)

Prakempa dan Aji Ghurnita merupakan sebuah perspektif yang bersifat esoteris tentang identitas nada-nada gamelan secara independen. Keduanya juga merupakan sebuah sintesa pengetahuan metafisika dan pengetahuan praktis yang sering dipakai rujukan dalam penciptaan gending.

“Tidak heran bahwa literatur merupakan bahan penting bagi komposer yang siap diolah secara luas sesuai dengan kebutuhan si komposer sendiri. Terlebih dalam menciptakan gending yang bersifat neo-klasik, konsep-konsep berpikir yang ditawarkan oleh Prakempa dan Aji Ghurnita bisa digunakan sebagai pijakan berkomposisi, khususnya dalam menggarap progresi melodi,” jelas Sudirana.

Selama ini Prakempa dan Aji Ghurnita masih digunakan sebagai sebuah literasi untuk melegitimasi sebuah hafalan dalam membuat gending. Hal ini menyebabkan kontradiksi antara ulasan kerangka filosofis terhadap bunyi yang dapat dikembangkan menjadi dalil-dalil baru secara fleksibel, dengan hanya berpijak pada legitimasi kedua lontar dan celakanya hanya berujung hafalan belaka.

“Prakempa dan Aji Ghurnita merupakan dua buah lontar penting yang diwarisi oleh para penulis pendahulu Bali. Ilmu yang diajarkan di dalamnya merupakan kombinasi antara filsafat, etika, estetika, dan teknik permainan. Ada juga kecenderungan bahwa ulasan yang ada di dalam kedua lontar tersebut bersumber pada ilmu metafisika asli Bali yang menghubungkan kekuatan Bhuana Agung dan Bhuana Alit.”

2. Hubungan kedua lontar ini dengan budaya Hindu dan budaya memainkan gamelan tidak bisa dilepaskan begitu saja

Asal Mula Munculnya Irama Nada Gamelan Bali Menurut LontarPenampilan komunitas Gamelan Yuganada (Dok.IDN Times/Wayan Sudirana)

Prakempa sudah diterjemahkan pada tahun 1986 oleh I Made Bandem. Naskah yang didapatkan oleh Sudirana adalah naskah yang ditulis ulang pada kertas oleh I Gusti Putu Made Geria. Dari naskah tersebutlah kemudian dibuatkan salinan dalam bentuk buku yang dipublikasikan pada tahun yang sama. Buku inilah yang akhirnya banyak dipegang oleh seniman dan akademisi di Bali.

Lain halnya dengan Prakempa, Lontar Aji Ghurnita merupakan lontar yang banyak tersebar di rumah-rumah pendeta, balian (paranormal), museum, dan perpustakaan. Isinya memang fokus kepada hubungan nada-nada dengan makrokosmos dan mikrokosmos, dan juga tentang petuah empat bunyi-bunyian (Catur Muni-muni).

“Hubungan kedua lontar ini dengan budaya Hindu dan budaya memainkan gamelan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Keduanya, secara tidak sadar, memberikan pengaruh kepada setiap individu yang mendengarkan bunyi secara kontekstual.

Persepsi seorang musisi yang telah membudaya terhadap keunikan nada, ternyata bahwa setiap nada mandiri secara akustik, dan penggambaran sastrawi Prakempa tentang penempatan nada-nada di dalam kosmos. Semuanya merupakan gagasan yang saling memperkuat dan cocok.”

Pengaruh kumulatif dari semua gagasan ini mencerminkan sensasi yang kuat bahwa ketika melodi gamelan bergerak dari satu nada ke nada lainnya, melodi itu tidak sekadar bergerak secara urut atau melompat. 

3. Tidak hanya piawai dalam bermain gamelan dan menjadi seorang komposer, tetapi bisa menjelaskan konsep-konsep yang terkandung di dalamnya

Asal Mula Munculnya Irama Nada Gamelan Bali Menurut LontarPenampilan komunitas Gamelan Yuganada (Dok.IDN Times/Wayan Sudirana)

Wayan Sudirana menceritakan bahwa I Gusti Putu Made Geria atau Guru Geria selalu memberikan petuah yang bermanfaat kepada murid-muridnya dalam hal pemahaman terhadap proses berkesenian dan penciptaan. Geria dikenal sebagai tokoh penting dalam dunia seni karawitan Bali dan telah berpulang pada tahun 1983.

Salah satu murid Geria yakni I Wayan Rai S, menyampaikan kepada Wayan Sudirana bahwa ada tiga hal yang sering diungkapkan oleh Geria kepadanya untuk memahami apa yang benar-benar dilakukan selama berkesenian.

“Cening, yen dot apang teteg melajah, ade telu: pelajahin megambel, apang bise ngae gending, lan apang bise ngomongang. Yen sube bise makejang, mare ngidang seken-seken ngeresep teken ane gae. Yen ade abesik gen kuang, yen care bape, konden to.”

(Muridku, kalau ingin tekun belajar, ada tiga hal: belajar bermain gamelan, supaya bisa membuat gending, dan supaya bisa membahasakannya. Kalau sudah bisa semuanya, di sanalah kamu akan benar-benar memahami apa yang kamu lakukan. Kalau ada satu saja yang kurang, kalau menurut saya, belum itu).

Petuah dari sang guru tersebut merupakan sebuah tantangan bagi setiap muridnya. Maksudnya, agar murid-muridnya tidak hanya piawai dalam bermain gamelan dan menjadi seorang komposer. Tetapi juga harus bisa menjelaskan konsep-konsep yang terkandung di balik aktivitas yang dilakukan. Kemungkinan besar hal tersebut merupakan syarat mutlak apabila seseorang ingin menyandang predikat sebagai Guru (Maestro gamelan).

“Seorang guru tidak hanya piawai dalam aspek intra musikal, bermain gamelan dan membuat komposisi baru, tetapi aspek-aspek ekstra musikal yang berhubungan dengan filsafat, estetika, etika, dan teologi juga harus dikuasai dengan matang,” ungkap Wayan Sudirana pada Senin (14/9/2021).

4. Perlu pemahaman mendalam untuk mengetahui konsep-konsep intra dan ekstra musikal

Asal Mula Munculnya Irama Nada Gamelan Bali Menurut LontarPenampilan komunitas Gamelan Yuganada (Dok.IDN Times/Wayan Sudirana)

Menurut Sudirana, penjelasan mengenai konsep-konsep intra dan ekstra musikal tersebut bukanlah hal yang mudah. Diperlukan pemahaman mendalam tentang sebuah kebenaran dalam konteks material dan non material. Dalam segi keilmuan, untuk mencari sebuah kebenaran tersebut melalui filsafat.

“Melalui filsafat setiap obyek dipertanyakan dengan menggunakan dalil-dalil untuk menemukan substansi terdalam. Dalam filsafat, ada sebuah dalil kuno dari Yunani yang disebut Ontologi, sebuah kajian atau teori yang membahas keberadaan suatu objek dan hubungan-hubungannya dengan alam dan kehidupan,” jelasnya. 

Ontologi ini menjadi sebuah kriteria untuk membedakan tipe-tipe objek, baik yang bersifat konkret dan tidak konkret, eksistensi dan non-eksistensi, nyata dan ideal, berdiri sendiri dan ketergantungan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, ontologi memberikan jalan untuk mengungkap yang ada (being), kenyataan/realitas (reality), eksistensi (existence), esensi (essence), substansi (substance), dan perubahan (change).

“Keyakinan untuk menemukan serta menguak eksistensi, esensi, dan substansi mengenai konsep dan teori bunyi-bunyian juga dilakukan dalam membedah seni karawitan, terlebih kaitannya dengan penciptaan semesta dan hubungannya dengan kosmologi.” 

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya