Apa Jadinya Jika Anak-anak Nonton Sinetron Tanpa Orangtua

Bukan jenis tayangannya yang perlu dipermasalahkan

Denpasar, IDN Times - Sejumlah film kartun hingga sinetron di televisi (TV) biasanya menyajikan adegan yang mengandung unsur kekerasan. Karena tayang di stasiun publik, maka siapa pun dapat menontonnya. Namun yang menjadi perhatian di sini adalah anak-anak. Apa jadinya jika anak-anak nonton sinetron tanpa orangtuanya?

Berikut pandangan Luh Ayu Aryani, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Bali, dalam wawancara IDN Times pada 19 September 2019 lalu.

Baca Juga: 5 Syarat Persetujuan Untuk Berhubungan Seks, Harus Dipenuhi

1. Kesukaan mereka menonton tayangan TV berbeda-beda

Apa Jadinya Jika Anak-anak Nonton Sinetron Tanpa OrangtuaFoto hanya ilustrasi. (pexels.com/Andres Ayrton)

Anak-anak dikategorikan sebagai orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk janin dalam kandungan. Menurut Aryani, kesukaan mereka menonton tayangan TV berbeda-beda. Ada yang menyukai film kartun, sinetron, pengetahuan, olahraga, film budaya dan lainnya. Dari pengamatannya, anak-anak cenderung tidak melihat satu tayangan saja.

"Tidak semua anak suka satu jenis film saja. Kesukaan mereka biasanya sesuai dengan usia dan fase tumbuh kembang, pola asuh keluarga, kondisi lingkungan, masyarakat dan negara yang selalu ada tantangannya," kata Aryani.

Baca Juga: Cara Mengatasi Orang yang Pamer Alat Kelamin di Tempat Umum

2. Bukan sinetron dan tayangan lainnya yang dipermasalahkan, melainkan orangtua

Apa Jadinya Jika Anak-anak Nonton Sinetron Tanpa OrangtuaInstagram.com/aw_lucu

Aryani, tidak mempermasalahkan anak-anak untuk menonton tayangan sinetron atau kartun, misalnya. Sebab seluruh saluran TV memang menayangkannya. Aryani lebih menekankan kepada orangtua yang harus jeli melakukan pengasuhan terhadap anak, bukan tayangan TV.

"Masalahnya justru pada orangtua, apakah jeli melihat potensi dan perkembangan bakat anaknya, untuk kemudian melakukan dimensi pengasuhan dengan baik dan tepat. Ini saya katakan, karena fase perkembangan setiap anak tidak ada yang sama. Di usia tertentu, anak ada yang lebih suka nonton sinetron, sementara anak lainnya lebih suka kartun," ungkapnya.

3. Orangtua harus mampu membangun komunikasi

Apa Jadinya Jika Anak-anak Nonton Sinetron Tanpa OrangtuaFoto hanya ilustrasi. (unsplash.com/Kelly Sikkema)

Orangtua sebagai guru rupaka atau orang yang melahirkan, memberi identitas, memberi makan, mendidik, melindungi dari marabahaya, dan membangun karakter, hendaknya selalu positif kepada mereka. Misalnya melalui pembekalan diri dengan pengetahuan dan keterampilan pengasuhan anak dalam keluarga, masyarakat, maupun negara.

Selain itu, orangtua harus mampu membangun komunikasi, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Tujuannya tentu saja agar anak mampu mengontrol panca indranya untuk selektif melihat kenyataan di luar dirinya, apakah itu baik atau buruk, apakah itu boleh atau tidak, ditiru atau dilaksanakan, dan apakah patut atau tidak untuk diterima.

Lantas mengapa orangtua harus bekerja keras melakukan itu, sementara ia juga ada tanggung jawab terhadap pekerjaannya?

"Hal itu sangat penting agar orangtua tidak selalu menyalahkan maupun menghukumnya. Anak-anak cepat meniru sisi berisiko dari sinetron. Saya yakin itu karena kurangnya fungsi dan peran orangtua dalam pengasuhan anak di masa tumbuh kembangnya."

4. Kuncinya, introspeksi diri!

Apa Jadinya Jika Anak-anak Nonton Sinetron Tanpa OrangtuaFoto hanya ilustrasi. (unsplash/Pablo Merchán Montes)

Berkaca dari penjelasan di atas, Aryani hanya berharap orangtua mau introspeksi diri, apakah sudah melakukan fungsi pengasuhan dengan baik, sudahkah membekali diri dengan wawasan dan keterampilan pengasuhan yang memadai di era sekarang ini.

"Bukan masalah sinetron atau kartunnya, namun apakah tayangan itu sudah ramah anak? Maksudnya tidak ada unsur pornografi, bullying, atau lainnya yang belum layak ditonton anak," ujar Aryani.

Lantas bagaimana jika tayangan sinetronnya ada adegan tawuran atau percintaan? Menurut Aryani, apa pun adegan yang disajikan dalam sinetron, orangtua wajib menjelaskannya kepada anak. Misalnya, Kenakalan itu terjadi karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua kepada anak atau perpecahan keluarga. Tawuran itu terjadi karena konflik sosial, dan lainnya.

"Percintaan itu adalah proses pengenalan karakter anak laki dengan perempuan untuk belajar tumbuh dewasa tetapi bukan untuk melakukan adegan dewasa," katanya.

Penjelasan-penjelasan seperti itulah yang Aryani maksud sebagai pembekalan diri orangtua, yang kemudian ditularkan kepada anak-anaknya. Anak-anak jadi ikut dibekali oleh pengetahuan secara kognitif untuk menjalani hidupnya kelak.

"Anak menjadi terbekali pengetahuan kognitif, dan sikap (Afektif) dan termasuk nantinya tindakan (Psikomotorik) dalam menjalani kehidupannya. Dampak menerima, menyerap, melakukan dengan meniru adegan kekerasan itu baru akan terjadi jika anak lepas dari penanaman nilai-nilai luhur, kering akan kasih sayang dan perhatian dari orangtua plus keluarga yang terpecah."

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya