Undiknas Sambut Baik Kebijakan Kampus Merdeka, Namun Butuh Juknis
Mahasiswa dan dosen tidak lagi diribetkan oleh administrasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Denpasar, IDN Times – Beberapa waktu lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, menyampaikan kebijakan Kampus Merdekanya dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Rakyat Indonesia) di Kompleks Parlemen Jakarta, pada Selasa (28/1).
Empat kebijakan tersebut di antaranya pembukaan program studi baru, mengenai sistem akreditasi perguruan tinggi, fasilitas perguruan tinggi yang statusnya masih PTN (Perguruan Tinggi Negeri) Badan Layanan Umum (BLU) dan Satker (Satuan Kerja) untuk mencapai PTN-BH (Badan Hukum), dan Hak belajar tiga semester di luar program studi mahasiswa.
Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik Pasca Sarjana Undiknas (Universitas Pendidikan Nasional), I Nyoman Subanda, kepada IDN Times menyampaikan responnya bahwa selama ini PTS (Perguruan Tinggi Swasta) terikat dengan peraturan Dikti (Pendidikan Tinggi). Di mana intinya kampus swasta kerap mengalami kendala karena ketatnya aturan dan sering berubah-ubah.
“Kami tidak masalah pada dasarnya ya. Kampus dilokalkan sering kali mengalami kesulitan. Kami menganggap ada beberapa hal yang menyulitkan kami berkompetisi. Regulasi-regulasi itu yang sering menghambat kami juga. Misalnya syarat pendirian S3, S2, kenaikan pangkat, akreditasi. Banyak hal. Kita berkutat pada hal-hal yang bersifat administrasi,” katanya.
1. Kebijakan Menteri Nadiem dinilai akan membuat mahasiswa dan dosen lebih banyak berkarya tanpa dibelenggu hal-hal yang bersifat administrasi
Pihaknya menyetujui kebijakan yang mengharuskan mahasiswa tidak terkungkung di kelas saja, dengan segala macam teori yang ada. Meski kebebasan mimbar selama ini sudah dijalankan, namun porsi praktik antara teori dan aplikasi dunia kerja harus disesuaikan.
“Kami sudah melakukan itu. Tapi porsinya memang tidak sebanyak itu. Artinya kami sudah ada PKL (Praktik Kerja Lapang), sudah ada KKN (Kuliah Kerja Nyata), mengikuti lab di lapangan kalau yang sosial itu. Kan itu banyak kami terapkan pada dunia-dunia kerja, model magang segala macam. Prinsipnya itu sudah kami terapkan, Cuma porsinya yang masih banyak teoritik di kelas. Kan gitu,” ujar Subanda.
Terkait akreditasi, misalnya dengan sekian kali pertemuan, ruangan yang harus diatur, absensi dan segala macam aturan-aturan Dikti di BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) ini, dinilai menjadi penyebab aktivitas di kampus lebih banyak bersifat administrasi. Dosen juga harus berkutat dengan administrasi, bukan subtansi keilmuannya.
Inilah yang membuat kampus terbelenggu dalam hal-hal administrasi pada hal-hal yang bersifat regulasi. Apa dampaknya? Pengembangan dan kebebasan mahasiswa, serta ekspresi dosen untuk berkarya menjadi lemah. Sehingga dengan memaknai konsep kampus merdeka ini, kata Subanda, lebih memberikan ruang untuk berekspresi, ekselerasi mahasiswa dalam berkarya di dunia kerja, dan dosen semakin banyak berkarya tanpa dibelenggu oleh hal-hal administrasi.
“Sekarang dengan ada ini (Kebijakan kampus merdeka) kami akan sambut baik gitu. Tapi saya tetap berharap sentuhan-sentuhan langsung (Tatap muka) itu juga penting. Berbasis IT (Teknologi Informasi) kayaknya juga belum ya. Harus ada tatap muka, sentuhan-sentuhan yang bersifat manusiawi. Itu kayaknya memang harus dijalankan,” terangnya.
Baca Juga: 6 Tips Menemukan Topik dan Judul Skripsi, Biar Gak Galau