[OPINI] Efek Mencampur Kopi dan Alkohol Vs Kebijakan di Bali

Saya mendukung kebijakan yang berpihak pada fakta

Tos kopi campur arak Bali.

Tos tersebut, meskipun tidak sering, kini menjadi agenda Gubernur Bali, I Wayan Koster, setiap kali menerima kunjungan pengusaha hingga pejabat lokal, nasional, dan internasional di Jayasabha, rumah dinasnya Gubernur Bali di Kota Denpasar. Tos ini juga diabadikan di Instagram resmi Provinsi Bali. Baru kali ini saya melihat pejabat sekelas gubernur di Bali yang asyik, hangat, dan bro banget. Tos kopi tanpa gula dicampur arak. Tentu saja campurannya menggunakan arak khas Bali.

Gubernur jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) bukan kali pertama menggaungkan kebijakan yang berpihak pada kelokalan dan para petani, yang tampak memerhatikan masyarakat Bali. Sesuai visinya, Nangun Sat Kerthi Loka Bali, arah programnya untuk menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya untuk mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia, sekala-niskala (terlihat-tidak terlihat) menuju kehidupan krama dan gumi Bali, dikutip dari baliprov.go.id.

Saya mengambil dua contoh saja kebijakan yang berpihak pada petani.

Pertama, Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 99 tahun 2018 Tentang Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali. Peraturan ini mewajibkan katering, restoran, hingga hotel di Bali untuk menyuguhkan buah lokal dari petani. Akomodasi pariwisata tersebut juga diwajibkan untuk membeli produk pertanian lokal dengan harga minimal 20 persen dari biaya produksi.

Kedua, Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. Kebijakan ini sangat menarik. Sebab Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Provinsi Bali untuk kesekian kalinya menginginkan petani arak di Bali sejahtera. Arak Bali goes to international pokoknya!

Kebijakan itu sudah ia gaungkan sejak awal tahun 2019, setahun sebelum COVID-19 melanda dunia. Yaitu dalam agenda rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali di Ruang Sidang Utama Gedung DPRD Provinsi Bali pada 11 Februari 2019.
Ia menyinggung minuman alkohol seperti bir dan lainnya, yang justru boleh dipasarkan di Bali. Sedangkan arak, yang menjadi produk lokal Bali, tidak diperjualbelikan dengan bebas.

Arak Bali menjadi minuman favorit kalangan masyarakat dalam berbagai acara adat seperti pernikahan dan lainnya. Apalagi minuman ini diproduksi secara rumahan oleh warga di Kabupaten Karangasem, dan kini kabupaten atau kota lain juga banyak yang memproduksi arak sesuai kekhasan wilayahnya.

"Ini yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan. Sehingga arak harus segera dilegalkan," katanya pada saat itu.

Namun, tentu ada tahapan yang harus dilakukan sebelum menjadikannya legal, seperti perbaikan terhadap industri arak di Bali. Caranya, dengan menjamin kualitas yang baik dan kadar alkoholnya diturunkan.

Gubernur Koster juga pernah dibuat geram atas beredarnya arak gula yang semakin menjamur. Arak dari fermentasi gula ini, selain harganya murah, juga dinilai tidak baik untuk kesehatan. Setidaknya seperti ini beberapa alasan yang mendasarinya:

  • Mengancam tradisi dan kelestarian minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali dengan bahan baku lokal
  • Mengancam kesejahteraan para petani dan perajin arak karena merugikan harga pasar
  • Mematikan cita rasa dan branding arak Bali
  • Membahayakan kesehatan masyarakat karena di dalam destilasi arak gula mengandung ragi sintetis yang terbuat dari bahan kimia
  • Bertentangan dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali

Makanya ia memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali serta Kabupaten Karangasem agar segera menutup produksi arak gula tersebut.

Baca Juga: Cara Membedakan Arak Gula dan Arak Karangasem Menurut Penikmat di Bali

Terlepas dari kebijakan itu, tanpa mengurangi rasa hormat, dan tanpa menakut-nakuti pembaca, saya jadi penasaran apa efeknya meminum kopi campur alkohol (Arak termasuk minuman beralkohol. Barangkali ada yang tidak tahu). Saya meminta bantuan tim IDN Times desk kesehatan untuk mencari hasil riset terkait ini. Apa pertimbangan saya menyajikan tulisan ini?

Mendukung kebijakan yang berdasarkan hasil riset dan berpihak pada fakta, agar masyarakat teredukasi. Itu saja.

Minuman dari campuran kopi dan alkohol sudah ada contohnya yaitu Irish whiskey atau Irish coffee. Lalu bagaimana jika kedua minuman tersebut dicampur menjadi satu? Apakah memengaruhi kesehatan? Berikut ini fakta selengkapnya.

Berisiko mengalami keracunan hingga gangguan lambung jika diminum secara berlebihan

[OPINI] Efek Mencampur Kopi dan Alkohol Vs Kebijakan di Baliilustrasi koktail kopi campur alkohol (unsplash.com/Jeppe Mønster)

Berdasarkan Dietary Guidelines for Americans tahun 2015-2020, mencampur minuman berkafein dan alkohol tidak dianjurkan.

Kafein merupakan zat stimulan yang membuat semakin berenergi. Sementara alkohol merupakan zat depresan yang membuat tubuh menjadi lebih lemas. Ketika kedua zat tersebut dicampur, maka zat stimulan dapat menutupi efek dari zat depresan.

Dilansir Healthline, seseorang yang meminum campuran tersebut secara berlebihan akan kehilangan kesadaran, dan memicu serangkaian gangguan lainnya seperti keracunan alkohol hingga kecelakaan berkendara.

IDN Times telah mewawancarai Dr dr Eka Ginanjar SpPD KKV FINASIM FACP FICA MARS, Spesialis Penyakit Dalam Kardiovaskular di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) sekaligus Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) tanggal 10 Mei 2022 lalu. Ia menyatakan, mencampur kopi dan alkohol dapat membahayakan lambung.

"Hati-hati dengan masalah lambung karena menimbulkan iritasi dan luka di bagian lambung," jelasnya.

Gangguan lambung terjadi karena zat yang ada di dalam kopi memicu produksi asam lambung berlebih. Hal ini akan memperparah kondisi seseorang yang sensitif terhadap kafein. Selain itu, dilansir WebMD, meminum alkohol berlebih bisa menyebabkan gastritis.

Baca Juga: [OPINI] Nandurin Karang Awak, Refleksi Kesenian Bali dalam Pandemik 

Seseorang yang sensitif terhadap kafein akan memicu bahaya kesehatan lainnya

[OPINI] Efek Mencampur Kopi dan Alkohol Vs Kebijakan di Baliilustrasi mengonsumsi alkohol (unsplash.com/kchance8)

Kopi dan alkohol sama-sama memiliki zat yang dapat mengganggu kesehatan jika diminum secara berlebihan. Yaitu mengganggu tidur, gangguan pada jantung, terutama pada seseorang yang memiliki penyakit jantung dan kardiovaskular, kata Dokter Eka.

British Heart Foundation menyebutkan, risiko gangguan jantung tak serta merta terjadi karena minum kafein. Namun bagi mereka yang sensitif terhadap kafein, jantung yang berdebar terlalu cepat bisa berpotensi menimbulkan masalah. Kalau sudah begini, maka orang ini disarankan segera ke dokter. Minuman alkohol pun demikian. Merugikan tubuh dalam jangka panjang, berapa pun takarannya.

Tugas hati atau lever adalah untuk menyaring zat-zat yang merugikan. Beberapa sel hati akan tergerus dan beregenerasi pada saat menyaring zat yang terkandung di dalam alkohol. National Health Service (NHS) memperingatkan bahwa konsumsi alkohol berlebihan bisa mengurangi kemampuan regenerasi hati, sehingga kerusakan hati bersifat permanen dan fatal.

"Alkohol tidak baik untuk kesehatan lever terutama kalau dikonsumsi berlebihan," terang Dokter Eka.

Kafein dan alkohol sama-sama bersifat diuretik

[OPINI] Efek Mencampur Kopi dan Alkohol Vs Kebijakan di BaliKonsumsi kafein bisa memicu timbulnya gejala IBS. (pixabay.com/Christoph)

Artinya, campuran kafein dan alkohol berisiko menyebabkan dehidrasi atau kekurangan cairan karena seringnya buang air kecil. Jadi, sebaiknya segera mengurangi minum kafein dan alkohol apabila menemukan gejala-gejala seperti:

  • Mulut terasa kering
  • Urine berwarna gelap
  • Merasa haus
  • Merasa pusing.

Meskipun terlihat berbahaya, namun kata Dokter Eka, konsekuensi diuretik dan dehidrasi akibat minum kopi campur alkohol hanya bersifat minor.

Fakta-fakta yang disajikan berdasarkan wawancara ini, setidaknya juga membuka ruang wawasan masyarakat yang melihat kebiasaan Gubernur Koster mencampur kopi dan arak Bali. Maka, pernyataan “Gubernur saja memberikan contoh, jadi boleh dong ditiru,” akan menjadi alasan pembenar masyarakat untuk melakukan hal serupa tanpa memerhatikan kesehatan diri dulu. Pemerintah Provinsi Bali yang tidak diiringi oleh penjabaran edukasi berdasarkan riset dan fakta dalam setiap publikasinya, akan membuat masyarakat semakin terjebak dengan informasi. Jadi tidak ada salahnya melibatkan pakar kesehatan, dan peneliti berkompeten yang tentu saja (Pasti) banyak bertebaran di Bali, selama menyajikannya di ruang publikasi. Semoga bermanfaat.

Baca Juga: [OPINI] Mengapa Anak Muda Bali Bisa Jadi Ngekoh?

Topik:

  • Irma Yudistirani
  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya