Keluh Kesah Petani Salak Madu di Pupuan Tabanan: Miris Hati Saya

Harga jual sempat anjlok, sampai Rp5.000 per kilogram

Tabanan, IDN Times - Imbas pandemik COVID-19 sangat dirasakan oleh petani salak madu asal Banjar Kebon Jero, Desa Munduk Temu, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. Ketut Suardika, salah satu petani yang turut merasakan dampak pandemik ini.

Selain produksi salak yang turun karena cuaca tidak mendukung, Suardika juga harus menghadapi tantangan lainnya. Upah tenaga kerja semakin mahal dan pasaran yang tidak pasti membuat harga jual menjadi anjlok.

Meskipun menghadapi berbagai cobaan, namun Suardika mengaku tidak kapok untuk terus bertani. Ia akan tetap bertahan hingga kondisi perekonomian Bali kembali membaik.

Baca Juga: Jelang Galungan Stok Babi Turun, Distan Tabanan: Coba Beralih ke Ayam 

1. Produksi panen salak madu dari Desember 2020 hingga Februari 2021 turun 40 persen

Keluh Kesah Petani Salak Madu di Pupuan Tabanan: Miris Hati SayaPanen salak madu di Desa Munduk Temu, Pupuan, Tabanan (Dok.IDNTimes/Istimewa)

Musim panen salak madu, kata Suardika, berlangsung pada September hingga Oktober 2020 dan Desember 2020 hingga Februari 2021.

"Panen Desember 2020 hingga Februari 2021 turun 40 persen dari panen sebelumnya. Biasanya satu pohon menghasilkan tiga kilogram salak madu, tetapi panen terakhir hanya dua kilogram per satu pohon," ujar Suardika yang sejak tahun 2000 sudah menjadi petani salak madu.

Turunnya produksi panen ini dikatakan Suardika karena cuaca yang tidak mendukung, sehingga tanaman salak madu tidak menghasilkan buah seperti seharusnya. Selain itu, perawatan tanaman menjadi tidak tepat waktu karena terkendala biaya sewa tenaga kerja. 

Biasanya, sebagaimana hukum pasar, jika produksi turun, artinya stok di pasaran juga berkurang dan membuat harga melonjak naik. Tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi salak madu Pupuan saat itu. Menurut Suardika, harganya justru anjlok menjadi Rp5.000 hingga Rp7.000 per kilogramnya. Padalah harga jual salak sebelum pandemik mencapai Rp10.000 per kilogramnya.

2. Salak madu yang tidak lagi terserap ke pasar modern kini hanya disalurkan ke pasar lokal

Keluh Kesah Petani Salak Madu di Pupuan Tabanan: Miris Hati SayaPasar Pesiapan, Tabanan (IDN Times/Wira Sanjiwani)

Sebelum pandemik COVID-19, menurut Suardika, pihaknya bisa menyalurkan salak madu ke beberapa pasar modern di Tabanan. Tetapi karena adanya pandemik, pesanan ini terhenti dan salak madunya tidak lagi terserap ke pasar modern.

Tidak sampai di sana, dibatasinya kegiatan upacara agama karena COVID-19 juga membuat turunnya permintaan salak madu. Satu-satunya cara yang dilakukan Suardika untuk menjual salak madu adalah dengan membuka angkringan salak tradisional di tempatnya. "Jadi ya, terserap di pasar lokal saja," ujarnya.

3. Tekan biaya produksi dengan mengandalkan tenaga sanak saudara

Keluh Kesah Petani Salak Madu di Pupuan Tabanan: Miris Hati Sayabakpiamutiarajogja.com

Suardika mengakali mahalnya upah tenaga untuk merawat dan memanen salak madu dengan memberdayakan sanak keluarganya. Menurutnya, upah tenaga serabutan saat ini mencapai Rp10.000 per jamnya, plus menanggung biaya kopi dan jajan.

"Sebenarnya miris hati saya meminta anak-anak ikut merawat dan memanen salak. Tetapi hanya itu langkahnya untuk menekan biaya. Sebab tenaga serabutan sekarang mahal," ujarnya.

Saat ditanya apa rencananya untuk panen ke depan agar tidak terjadi hal serupa, Suardika mengatakan dirinya justru tidak punya rencana apapun karena kondisi yang tidak pasti saat ini.

"Hanya bisa bertahan sekarang dan semoga selalu sehat," paparnya.

Suardika pun menceritakan hal yang membuat ia merasa sedikit tertekan, yakni ketika mengetahui saat ini, setelah dirinya selesai panen dan tak ada stok salak, harga salak justru mencapai Rp15.000 per kilogram. "Giliran salak madunya tidak ada sama sekali, harga malah mahal," ucapnya.

Saat ditanya berapa kerugian yang dialaminya dalam panen kali ini, Suardika menjawab ia tidak bisa mengkalkulasi. Tetapi yang pasti rugi karena harga jual panen jauh dari biaya produksi yang dikeluarkan.

"Tidak bisa dikalkulasi. Sekarang jauh panggang dari api. Saat ini sebenarnya mengandalkan penjualan dari upacara adat, tetapi dibatasi juga sehingga tidak ada yang beli salak," tuturnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya