Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU Ketenagakerjaan

Poin-poin tersebut diprotes keras oleh buruh

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) sah menjadi undang-undang, setelah disepakati dalam pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020) petang.

Sampai saat ini, beleid tersebut masih menuai polemik panjang di masyarakat meski sudah sah menjadi UU. Sejumlah pasal dinilai mengabaikan kesejahteraan buruh dan menguntungkan pengusaha. Ada pula hak-hak pekerja yang tadinya dilindungi undang-undang, kini tidak tercantum dalam omnibus law tersebut.

IDN Times merangkum kembali pasal-pasal yang menjadi polemik dalam UU Cipta Kerja dan membandingkannya dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003. Berikut ulasannya.

1. Pasal terkait pesangon

Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU KetenagakerjaanIlustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Nilai maksimal pesangon

Pasal 156 mengatur tentang pesangon yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima," bunyi ayat (1) pasal tersebut.

Pasal ini dipermasalahkan lantaran aturan nilai maksimal pesangon yang diberikan mengalami penurunan dari sebelumnya sebanyak 32 kali upah dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13/2003 (UUK), menjadi hanya 25 kali di UU Cipta Kerja. Pembayarannya terdiri dari, pesangon setara 19 kali upah menjadi beban perusahaan dan enam kali upah diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Pembayaran nilai maksimal 19 kali upah tersebut tercantum pada Pasal 156. Pada Ayat (2) disebutkan bahwa uang pesangon untuk masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih ialah 9 (sembilan) bulan upah. Sedangkan pada Ayat (3), disebutkan uang penghargaan untuk masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih ialah 10 (sepuluh) bulan upah.

Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)

Buruh juga mengeluhkan sebagian nilai maksimal pesangon lainnya yakni enam kali upah yang diberikan dalam bentuk JKP. Sebab, hingga kini belum jelas dari mana sumber pendanaan JKP yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan itu.

Muncul kekhawatiran bahwa uang itu berasal dari iuran yang disetorkan pekerja itu sendiri, selayaknya uang jamsostek selama ini. Ini adalah sistem baru yang sebelumnya tidak ada dan belum diatur dalam UUK.

Pada Pasal 46E UU Ciptaker disebutkan, ayat (1) Sumber pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan berasal dari:
a. modal awal pemerintah;
b. rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau
c. dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
Lalu ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pesangon pada PHK karena surat peringatan

Masih soal pesangon karena PHK, UU Ciptaker dikeluhkan karena aturan soal pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan dihapuskan. Padahal, dalam UU No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, pekerja/buruh yang terkena PHK karena surat peringatan, berhak mendapat pesangon.

Jika dibandingkan dengan Pasal 161 UUK, pada ayat (1) disebutkan, salam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

Pesangon PHK atas pengajuan buruh

UU Ciptaker menghapus ketentuan soal permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan buruh/pekerja karena merasa dirugikan perusahaan. Hal itu diatur dalam Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156. Sedangkan ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.

Dengan dihapuskannya seluruh Pasal 169 dalam UU Cipta Kerja, maka ketentuan ini tidak berlaku lagi.

Pesangon bagi ahli waris

Lalu, uang santunan berupa pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak bagi ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh meninggal juga dihapuskan. Ini karena penghapusan Pasal 166 UUK mengatur hak keluarga buruh atau pekerja. Bila buruh atau pekerja meninggal dunia, pengusaha harus memberikan uang kepada ahli waris.

Namun ini juga terkait pencantuman tentang berakhirnya perjanjian kerja pada Pasal 61 Bagian Ketenagakerjaan UU Ciptaker. Pada Pasal 61 ayat (5) disebutkan: "Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama."

Pesangon pensiun

Terakhir, UU Ciptaker juga menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang terkena PHK karena akan memasuki usia pensiun. P167 UU Ketenagakerjaan yang isinya mengatur pesangon bagi pekerja/buruh yang terkena PHK karena memasuki usia pensiun dihapuskan di sini. Meski demikian, di bagian lain ada aturan tentang jaminan pensiun.

Itu berbeda dengan aturan di UU Keternagakerjaan. Pasa Pasal 167 UUK mengatur mengenai pesangon untuk pekerja/buruh yang mengalami PHK karena memasuki usia pensiun.

Baca Juga: Pasal-Pasal Krusial dalam RUU Cipta Kerja, Apa Kata Pengusaha?

2. Pasal tentang PHK

Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU KetenagakerjaanIlustrasi PHK (IDN Times/Arief Rahmat)

Alasan PHK yang baru ada di UU Cipta Kerja 

Pasal 154A memuat tentang PHK yang dapat dilakukan oleh perusahaan. UU Ciptaker menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK, di antaranya meliputi:

• Perusahaan melakukan efisiensi
• Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
• Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
• Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
• Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan

Sebelumnya, ketentuan tersebut tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Alasan PHK di UU Ketenagakerjaan

Aturan alasan alasan perusahaan boleh melakukan PHK di UU Ketenagakerjaan di antaranya:

• Perusahaan bangkrut
• Perusahaan tutup karena merugi
• Perubahan status perusahaan
• pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
• pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
• pekerja/buruh memasuki usia pensiun
• pekerja/buruh mengundurkan diri
• pekerja/buruh meninggal dunia
• pekerja/buruh mangkir

Aturan PHK yang diajukan buruh dihapus

UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Sebelumnya hal itu diatur dalam Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Aturan itu menyebutkan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam. Permohonan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

3. Pasal tentang Tenaga Kerja Asing (TKA)

Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU KetenagakerjaanIDN Times/Reynaldy Wiranata

Dalam Pasal 42 RUU Cipta Kerja, tenaga kerja asing (TKA) diperbolehkan bekerja di Indonesia, tanpa pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dari pemerintah pusat. Kemudahan RPTKA ini bagi TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu.

Pada Ayat (1) disebutkan, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, pada ayat (3) disebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:

a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up) , kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.

Kemudian di Pasal 43 mengenai rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat mendapat izin kerja di mana dalam RUU Cipta kerja, informasi terkait periode penugasan ekspatriat, penunjukan tenaga kerja menjadi warga negara Indonesia sebagai mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat dihapuskan.

Sebelumnya di UUK Pasal 43 ayat 1 Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Lalu di Pasal 44 UU Ciptaker mengenai kewajiban menaati ketentuan mengenai jabatan dan kompetensi TKA dihapus. Sedangkan pasal 44 ayat 1 UUK menyebutkan pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.

4. Pasal tentang pekerja kontrak (PKWT)

Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU KetenagakerjaanIlustrasi buruh, pekerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Salah satu pasal lain yang diperdebatkan adalah terkait sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Poin yang sempat dipermasalahkan oleh buruh penghapusan Pasal 59 yang membahas batas waktu pemberlakuan perjanjian itu.

Jika aturan itu dihapus, dikhawatirkan status pekerja kontrak dapat terus diperpanjang tanpa batas. Penghapusan pasal ini dikritik keras karena pekerja berpotensi besar dikontrak seumur hidup alias minim mendapat jaminan sebagai karyawan tetap. Namun, akhirnya Pasal 59 tidak jadi dihapus dalam UU Cipta Kerja.

Dalam Pasal 59 disebutkan:

Ayat (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
Ayat (2) berbunyi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Ayat (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Jangka waktu PKWT maksimal 2 tahun dan perpanjangan 1 tahun tidak ada lagi

Hanya saja, dalam UU Ciptaker tidak ada batasan waktu maksimal perjanjian kerja kontrak bisa dilakukan. Dengan demikian, masih muncul kekhawatiran kontrak dapat terus diperpanjang alias tanpa batas.

Padahal sebelumnya, dalam Pasal 59 UUK, disebutkan PKWT terhadap pekerja dilakukan maksimal 2 tahun dan boleh diperpanjang lagi dalam waktu 1 tahun. Artinya ada kepastian kapan kontrak berakhir atau bisa diangkat menjadi karyawan tetap.

Baca Juga: Fakta-fakta Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang Penuh Kontroversi

5. Pasal tentang waktu kerja

Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU KetenagakerjaanRibuan buruh di Kabupaten Bandung Barat turun ke jalan tolak Omnibus Law. (IDN Times/Bagus F)

Waktu kerja buruh dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) ditetapkan maksimal delapan jam sehari. Pada pembahasan tingkat akhir, sejumlah pasal menjadi perdebatan, di antaranya Pasal 77 dan 78 tentang jam kerja.

Sebelumnya pada pembahasan draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja), buruh mengeluhkan Pasal 77A berkaitan dengan tambahan jam kerja tergantung pada kebijakan perusahaan. Hanya ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. Tidak ada aturan tentang jumlah hari kerja. Namun, pasal ini akhirnya dikembalikan seperti aturan pada UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003.

Waktu lembur

Di sisi lain dalam pembahasan wkatu kerja di UU Cipta Kerja terjadi perpanjangan waktu kerja lembur menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Di UU Ketenagakerjaan, waktu lembur maksimal adalah 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

6. Pasal tentang upah

Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU KetenagakerjaanIlustrasi Upah (IDN Times/Arief Rahmat)

Pasal 88B UU Ciptaker mengatur tentang upah berdasarkan satuan hasil dan satuan waktu. Pasal 59 UUK mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja itu maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. Sebelumnya, poin tersebut tidak diatur dalam UU Ketenagerjaan.

Selain itu, UU Ciptaker juga meniadakan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), sehingga penentuan upah hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP).

Di UU Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Sektoral. Berdasarkan Pasal 89 UUK, setiap wilayah diberikan hak untuk menetapkan kebijakan Upah minimum mereka sendiri baik di tingkat provinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya.

Pada Pasal 88 E Ayat (2) UU Ciptaker ditegaskan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Hal itu sebelumnya juga diatur dalam Pasal 90 UU No13/2003. Pada Ayat (1) disebutkan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.

Namun bedanya, dalam UU No 13/2003, ada Ayat (2) yang berbunyi: Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dapat dilakukan penangguhan. Lalu, Ayat (3) yang berbunyi: Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Dengan demikian, selama ini banyak perusahaan masih menangguhkan pembayaran upah yang sesuai dengan aturan upah minimum dengan alasan tidak mampu membayar. Namun, pada UU Ciptaker, ayat tentang penangguhan ini dihapuskan. Sehingga, mau tidak mau, pengusaha harus membayar sesuai upah minimum.

Tidak ada lagi buruh yang boleh diberi gaji di bawah upah minimum.

Tidak hanya berisi itu, pengusaha yang tidak mematuhi aturan pada pasal 88E soal upah minimum itu, terancam sanksi dalam UU Ciptaker. Sanksi kepada pengusaha yang gak bayar upah sesuai ketentuan tercantum dalam Pasal 185.

Pada Ayat (1) disebutkan, barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), dan Pasal 160 ayat (4), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Sedangkan pada Ayat (2) disebutkan, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Baca Juga: Fakta-fakta dalam Seribu Halaman Omnibus Law Cipta Kerja 

7. Pasal tentang jaminan pensiun

Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU KetenagakerjaanIlustrasi Investasi (IDN Times/Mardya Shakti)

UU Ciptaker juga menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun. Aturan itu sebelumnya ada pada Pasal 184 UU Ketenagakerjaan.

Pasal itu yang menyatakan, "Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau denda paling sedikit Rp100 juta rupiah dan paling banyak Rp500 juta rupiah)."

Hal itu terkait penghapusan Pasal 167 ayat (5) UUK menyatakan:
"Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)."

Jaminan pensiun muncul dalam Bagian Ketiga UU Ciptaker tentang Jenis Program Jaminan Sosial. Jaminan pensiun sebagai salah satu jenis program jaminan sosial. Lalu pada Bagian Keempat UU Ciptaker tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pada Pasal 6 Ayat (2) disebutkan BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menyelenggarakan program:
a. jaminan kecelakaan kerja;
b. jaminan hari tua;
c. jaminan pensiun;
d. jaminan kematian; dan
e. jaminan kehilangan pekerjaan. 

Berikut link unduh untuk draf UU Cipta Kerja yang diterima IDN Times dari Baleg DPR RI.

Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU KetenagakerjaanPasal-Pasal Krusial Omnibus Law, UU CIpta Kerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Baca Juga: Di UU Ciptaker, Pengusaha Terancam Sanksi jika Langgar Upah Minimum

Topik:

  • Anata Siregar
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya