Dekan FEB Unud: Bali Tidak Bisa Melawan Musuh yang Tidak Pasti

Apa kabar Bali? Mimin doakan kamu tetap kuat

Denpasar, IDN Times – Sekitar seminggu yang lalu, dalam agenda Indonesia Millennial Report 2021 oleh IDN Times yang mengagendakan wawancara dengan pakar ekonomi. IDN Times akhirnya mendapat kesempatan untuk wawancara dengan Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Agoes Ganesha Rahyuda terkiat dengan bagaimana ekonomi dan bisnis di masa pandemik dan proyeksi tahun 2021 mendatang.

Sejak Pemerintah mengumumkan kasus meninggal pertama pada bulan Maret 2020 lalu, maka terhitung sudah tujuh bulan ini COVID-19 telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Virus ini faktanya telah memporak-porandakan perekonomian Bali. Padahal Pulau Seribu Pura ini telah menggantungkan setengah perekonomiannya dari sektor pariwisata.

Fakta ini diungkap langsung oleh Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Badung, IGA Rai Suryawijaya, ketika dihubungi IDN Times Kamis (9/4/2020) lalu. Ia menyatakan untuk pertama kalinya dalam sejarah, bisnis perhotelan di Bali ini paling terpuruk. Bahkan paling parah dari tragedi Bom Bali tahun 2002 dan 2005 silam.

“Kondisi perhotelan dan pariwisata Bali COVID-19 ini sangat terpuruk. Tidak pernah dalam sejarah perhotelan yang ada di Bali sampai tingkat huniannya zero (0 atau nol) okupansi. Jadi okupansinya nol. Ini sangat-sangat berat. Ini yang terjadi,” katanya.

Menariknya, ketika IDN Times melakukan wawancara sekitar satu jam bersama Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis, Agoes Ganesha Rahyuda, melalui Zoom dalam agenda Indonesia Millennial Report 2021 bertema “Bagaimana ekonomi dan bisnis di masa pandemik dan proyeksi 2021” pada 3 Oktober 2020, ada pembahasan soal Provinsi Bali yang justru tidak kuat menghadapi krisis tak pasti dan tidak terlihat seperti COVID-19. Berikut penjelasan selengkapnya:

Baca Juga: Bisnis Perhotelan di Bali Tahun Ini Paling Terpuruk Sepanjang Sejarah

1. Bali survive dengan segala macam goncangan yang punya titik pasti penyelesaiannya

Dekan FEB Unud: Bali Tidak Bisa Melawan Musuh yang Tidak PastiIDN Times

Menurut laki-laki yang akrab disapa Ganesha, kondisi yang dihadapi oleh Provinsi Bali tahun 2020 ini sangat berbeda dengan krisis 1998, 2002, 2005, 2008, dan 2017. Ia menguraikan, tahun 1998 merupakan bencana politik, yaitu mundurnya pimpinan Negara oleh people power karena krisis keuangan. Ganesha menyebutkan, krisis tahun 1998 tersebut tidaklah global menghancurkan perekonomian secara merata di Idnonesia. Sebab hanya beberapa pasar saja yang rusuh. Sementara di Provinsi Bali, kerusuhan justru terjadi pada tahun 1999, bukan 1998.

“Bali ini kepada kondisi-kondisi yang pasti-pasti stop-nya. Itu sangat kuat. Jadi kalau dibilang di Bali sendiri, kita struggle. Kita survive dengan segala macam goncangan yang punya titik pasti penyelesaiannya. Tragedi 98 itu titik pasti. Ganti Presiden sudah selesai. Artinya sudah mulai membaik. Tahun 99 juga titik pasti, setelah Ibu Megawati jadi Presiden, sudah selesai (Perekonomian Bali pulih kembali). Nyaman kita,” jelasnya.

Baca Juga: Pakar Virologi Unud Prediksi Desember Kasus COVID-19 di Bali Meningkat

2. Hanya butuh waktu dua bulan untuk recovery setelah tragedi Bom Bali

Dekan FEB Unud: Bali Tidak Bisa Melawan Musuh yang Tidak PastiIDN Times/Ayu Afria

Selanjutnya pada 12 Oktober 2002 sekitar pukul 23.05 Wita, Bom Bali I meledak di tiga tempat dan menewaskan 202 orang serta 209 orang luka-luka. Disusul oleh tragedi Bom Bali II pada tahun 2005. Meski begitu, Provinsi Bali hanya membutuhkan waktu dua bulan untuk recovery.

“Bom meledak, gak sampai dua bulan recovery. Orang sudah cuek keluar, berdagang lagi. Padahal bom memusnahkan nyawa 200an orang. Titik pastinya jelas. Tahun 2005 juga begitu,” kata Ganesha.

Pada tahun 2008 ketika krisis moneter sampai bencana Gunung Agung tahun 2017 yang kala itu tidak jelas kapan erupsi besarnya akan terjadi, Bali pun dinilai masih aman perekonomiannya.

“Pertumbuhan ekonomi mungkin lambat tapi kita masih saja keluar. Saat itu orang diminta memakai masker agar tidak kena abu. Tetapi bisa bertahan secara ekonomi.”

Baca Juga: Komunikasi COVID-19 Satu Pintu di Bali Banyak Kurangnya, Imbauan Terus

3. Bali tidak bisa melawan musuh yang tidak pasti-pasti. Bali memerlukan konsumen yang nyata, bukan secara online

Dekan FEB Unud: Bali Tidak Bisa Melawan Musuh yang Tidak PastiPemakaman Jenazah COVID-19 (Dok. Kemensos)

Lalu bagaimana Provinsi Bali dalam menghadapi pandemik COVID-19? Ganesha mengungkapkan, Bali tidak bisa melawan kondisi seperti sekarang. Beberapa fakta yang ia ungkapkan adalah Bali termasuk sembilan daerah yang pertumbuhan ekonominya negatif pada tahun 2020, dan berada di peringkat 34 dari 34 Provinsi di seluruh Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang paling merosot berada di kuartal kedua.

“Tapi 2020 ini kita nggak tahu akhirnya. Kita melawan hal yang kita nggak tahu musuhnya siapa. Musuhnya, kita tahu namanya saja (COVID-19). Benar-benar nggak tahu. Nempel di mana kita, nggak tahu. Kepastian selesainya juga kita nggak tahu,” ungkapnya.

“Ternyata Bali tidak bisa melawan musuh yang tidak pasti-pasti. Kalau yang pasti-pasti, Bali bisa survive.”

Beberapa sektor perekonomian di Bali yang paling terkena dampak pandemik COVID-19 adalah pariwisata seperti akomodasi dan transportasi:

“Nah, sektor-sektor yang hancur lebur di Bali itu sudah jelas accommodation-nya. Occupancy rate-nya hancur lebur. Restoran. Penjualan barang baik yang besar maupun eceran. Itu yang terdampak. Karena apa? Karena yang terdampak atau yang mengalami pertumbuhan negatif itu memerlukan konsumen yang nyata. Konsumen secara offline.”

4. Pernyataan Ganesha sejalan dengan Ketua PHRI Kabupaten Badung. Sektor perhotelan masih bisa running meskipun dengan single digit ketika ada tragedi bom Bali

Dekan FEB Unud: Bali Tidak Bisa Melawan Musuh yang Tidak PastiIDN Times/Ayu Afria

Pernyataan Ganesha nampaknya sejalan dengan Rai Suryawijaya. Ketika tragedi Bom Bali, menurut Rai Suryawijaya, sektor perhotelan masih bisa running meskipun dengan single digit. Artinya masih dalam angka 9 persen okupansinya. Okupansinya juga mengalami penurunan selama tiga bulan. Meski demikian masih banyak terbantu dari wisatawan domestik (Wisdom) dan pangsa pasar Asia. Sehingga tingkat huniannya masih berkisar 20 persen. Tidak total off operasionalnya seperti COVID-19 sekarang.

“Ini kan total off. Tidak ada. Semua negara ban (Melarang) dan kita juga menutup untuk pencegahan dari COVID-19 ini. Kita juga menutup. Jadi tidak ada arrival. Jadi arrival yang hari ini dari internasional flight adalah dari PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang berasal dari Bali,” ungkap kala itu.

Meski demikian, ia mengakui tentu butuh kesolidan dari semua pihak untuk memprioritaskan kesehatan dan keselamatan masyarakat. Terlebih dalam mengatasi pandemik COVID-19 supaya segera berakhir.

5. Kebutuhan hidup karyawan yang dirumahkan tanpa gaji harus dipikirkan

Dekan FEB Unud: Bali Tidak Bisa Melawan Musuh yang Tidak PastiWater Blow di Nusa Dua, Kabupaten Badung. (IDN Times/Ayu Afria Ulita)

Pandemik COVID-19 di Bali membawa dampak langsung bagi hotel dan perusahaan itu sendiri. Sehingga mereka mengambil berbagai kebijakan seperti:

  • Merumahkan karyawan dengan gaji pokok saja
  • Merumahkan karyawan dengan gaji 50 persen (Sesuai dengan kemampuan perusahaan)
  • Merumahkan karyawan tanpa gaji
  • Merumahkan karyawan dengan PHK (Karena dianggap tidak bisa melanjutkan perusahaan tersebut).

“Yang perlu diperhatikan adalah poin tiga dan empat ini sangat urgent (Penting). Karena berdampak pada sosial. Sosialnya ini sangat berat. Jadi pengangguran dan juga kebutuhan hidupnya. Jadi kebutuhan ini bagaimana dia bisa makan. Itu yang penting dipikirkan,” kata Rai Suryawijaya.

Berikut ini catatan jumlah pekerja di industri pariwisata di seluruh Bali yang kehilangan pekerjaan:

  • Sektor perhotelan dan restoran: 300.000 orang (Diliburkan)
  • Bidang transportasi: 75.000 orang
  • Bidang industri: 360.000 orang
  • Bidang perdagangan: 550.000 orang

“jadi total semua yang terdampak adalah 1.285.000 orang. Ini sangat berat ya. Ini ujian yang sangat besar,” ungkapnya.

6. Angka kasus COVID-19 di Provinsi Bali masih side away selama Luhut diperintah untuk menurunkan kasus pada 15 September 2020 lalu

Dekan FEB Unud: Bali Tidak Bisa Melawan Musuh yang Tidak PastiIDN Times/Maya Aulia Aprilianti

Pada 14 September 2020 Presiden Joko “Jokowi” Widodo memberikan arahan kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, untuk menurunkan kasus COVID-19 di sembilan provinsi prioritas, termasuk Bali. Targetnya adalah dua minggu, terhitung dari 15-28 September 2020.

Arahan tersebut kemudian diperjelas oleh Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito pada 17 September 2020, terkait jumlah kasus aktif yang masih banyak, laju insidensi (Kecepatan penambahan kasus), persentase kematian, laju kematian, dan karateristik wilayahnya.

Kasus positif di Indonesia mengalami kenaikan 18,6 persen. Yakni dari sebelumnya 18.625 kasus menjadi 22.097 kasus, dan Bali sebagai Provinsi penyumbang tertinggi. Disusul oleh Sulawesi Tenggara dan DKI Jakarta.

“Kenaikan kasus ini tertinggi berada di Bali naik 100 persen. Sulawesi Selatan naik 84,4 persen. Riau naik 68,5 persen. DKI Jakarta naik 31 persen dan Jawa Tengah naik 19,6 persen,” kata Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, melalui keterangan rilisnya, Rabu (9/9/2020) lalu.

Pada saat itu pula, Provinsi Bali juga telah kehabisan bed (Tempat tidur) untuk perawatan isolasi pasien COVID-19. Kabar ini disampaikan langsung oleh Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Bali, dr Gusti Ngurah Anom, saat dihubungi IDN Times pada Rabu (9/9/2020) pukul 11.15 Wita.

“Sudah beberapa hari ini. Sudah mulai semingguan ini,” terangnya.

Menurut Ngurah Anom, seluruh rumah sakit rujukan di Bali sudah penuh kala itu. Keseluruhannya terdapat 17 rumah sakit rujukan yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan dan Gubernur Bali Wayan Koster. Setiap rumah sakit telah membuat klaster untuk pasien yang suspek dan probable COVID-19. Beberapa kasus yang suspek, tempat tidurnya tidak boleh digabung dengan kasus probable (Positif COVID-19).

Posisi seperti itulah yang menurut Ngurah Anom, membuat rumah sakit mengalami kekurangan bed. Padahal Bed Occupancy Ratio (BOR) untuk probable masih ada. Hanya saja sudah penuh untuk kasus yang suspek. Alasan kedua, memang terkait masa perawatan pasien COVID-19 yang rata-rata 7 sampai 10 hari.

Profesor Virologi Universitas Udayana, GN Mahardika, belum bisa memberikan komentarnya terkait upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali menangani kasus COVID-19 sesuai arahan dari Presiden Jokowi.

“Tidak bisa komentar saya. Gimana bilang begitu. Bagaimana ya. Apa yang saya komentari ya. Tiyang (Saya) belum bisa komen,” ucapnya melalui sambungan telepon.

Namun ia menyampaikan sedikit pandangannya terkait dua minggu tersebut. Di mana angka kasus COVID-19 di Provinsi Bali dinilainya belum mengalami penurunan.

“Masih side away (Menyamping) istilahnya. Tiyang punya datanya. Jadi beberapa hari sejak pertengahan September itu side away, nyamping dia. Tidak melonjak ke atas, tidak ke bawah. Nah, biasanya itu kalau dari segi ilmu prediksi, side away itu bisa melonjak tajam, bisa merosot turun. Kami belum tahu arahnya,” ungkapnya.

Baca Juga: Kisah Mantan Pasien COVID-19 di Bali, Sempat Stres dan Susah Makan

7. Kasus positif COVID-19 di Bali sudah mencapai 10.228 orang per tanggal 12 Oktober 2020

Dekan FEB Unud: Bali Tidak Bisa Melawan Musuh yang Tidak PastiIDN Times/Irma Yudistirani

Sementara itu menurut data dari Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Kalaksa BPBD) Provinsi Bali sekaligus Sekretaris Satuan Tugas Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Daerah Bali, I Made Rentin, menyampaikan data kumulatif kasus COVID-19 di Provinsi Bali mencapai 10.228 orang per Senin (12/10/2020), setelah mendapatkan tambahan kasus positif 93 orang.

Dari 10.228 orang tersebut, sebanyak 8.834 orang di antaranya dinyatakan sembuh, dan 1.070 orang masih dalam perawatan. Angka kematian kumulatifnya tercatat 324 orang.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya